Loading, please wait...

YIKWANAK.com » Situs Anaknya Perempuan Yikwa » Page 4

SiteLogo
Welcome! This is
YIKWANAK.com
Situs Anaknya Perempuan Yikwa
 

Site Stats:
  1. Number of Posts:51
  2. Number of Comments:15
  3. Number of Categories:6
  4. Number of Tags:151
  5. Number of Pages:16
  6. Number of Links:0
  7. Number of Registered Users:6
  8. Number of Links Categories:0
  9. Number of Trackback:3
  10. Number of Pingbacks:3

 🡩

“Waktu” dan “Ruang” adalah ciptaan Manusia modern! Pikirkan untuk Hidup di luar mereka!

Di Melanesia secara prinsipil, kita kenal ada empat “waktu” saja,

  1. Waktu pagi
  2. Waktu Siang
  3. Waktu sore
  4. Waktu malam

Selain itu, kita juga mengenal waktu-waktu yang lain, seperti berikut

  1. Waktu kecil
  2. Waktu besar
  3. Waktu muda/ tua
  4. Waktu hidup
  5. Waktu mati

Selain dari itu lagi, kita kenal waktu seperti berikut

  1. Waktu kemarin
  2. Waktu besok
  3. Waktu dulu
  4. Waktu sekarang

Ini waktu-waktu yang dikenal di masyarakat Melanesia. Begitu Melanesia bersentuhan dengan dunia modern, maka waktu-waktu itu mengalami perubahan besar-besaran. Sekarang “waktu-waktu” itu kita bagi ke dalam

  1. Waktu “jam”, termasuk detik dan menit
  2. Waktu “hari”
  3. Waktu “minggu”
  4. Waktu “tahun”
  5. Waktu “dekade”
  6. Waktu “abad”

Selain itu kita diperkenalkan dengan waktu-waktu berikut

  1. Waktu bayi
  2. Waktu remaja
  3. Waktu pemuda
  4. Waktu dewasa
  5. Waktu muda
  6. Waktu tua

Silahkan cari di google.com tentang “waktu” ini dan kita akan tercengang betapa “waktu” telah menjadi satu “subyek” yang sangat menentukan dan mengatur peri kehdupan masyarakat modern.

Anda bayangkan masyarakat modern tanpa waktu? Jelas sulit! Bagaimana mungkin peradaban modern berjalan tanpa waktu? Itu pertanyaan gila.

Dengan kesimpulan kecil ini, kita bisa lihat dengan jelas, bahwa “waktu” diciptakan atau tercipta untuk melayani kebutuhan modernisasi, dan dunia modern tanpa waktu tidak dapat berjalan sama-sekali. Bisa dikatakan juga waktu tanpa dunia modern sama sekali tidak ada gunanya.

Ingat, kita baru bicara tentang “waktu”, karena itu catatan berikutnya kita kaan bicara tentang “ruang”. Salam jumpa!

Teori Evolusi dan Evolusi Pemikiran Manusia OAP Sampai di Tingkatan Mana?

Catatan Lepas

Manusia yang mulanya hanya berbahasa secara terbatas, malahan bukan berbahasa tetapi sekadar mengeluarkan bunyi pertanda bahaya, gembira, mencari, dan sebagainya. Mulanya ia belum berpikir dengan nalar apalagi rasio. Lalu lama-kelamaan, manusia mengalami evolusi biologis, dan kemudian menghasilkan pemikiran-pemikirannya seperti seorang anak kecil berusaha memahami tanda-tanda dan lambang yang disampaikan atau memberikan reaksi terhadap lingkungannya dengan tersenyum, tertawa, kaget, atau menangis. Ia mulai memahami pesanpesan alam semesta dan pesan-pesan sesama manusia tetapi tidak dapat mengatakan dan menjelaskan pesan-pesan dimaksud dalam bahasa manusia seperti masa kini. Ia menjelaskannya, tetapi hanya sebatas tanda-tanda atau kode-kode, sebatas bunyi dan suara, bukan kata-kata atau kalimat.

Pada akhirnya, manusia tiba kepada pembentukan bahasa dan penalaran, sama seperti perkembangan bahasa seorang bayi menjadi anak kecil, remaja, pemuda, dan akhirnya dewasa.12 Saat manusia mulai berbahasa, ia mengembangkan mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan dan sejalan dengan evolusi pemikiran itu bahasa manusia mengalami evolusi pula, sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia.

Setelah terjadi evolusi biologi mencapai tingkat kematangan, maka manusia mulai mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diatur oleh makhluk lain, yang mahakuasa. Pandangan seperti ini muncul dari penglihatan nenek moyang tentang masa es (“Ice Age”). Berbagai kegiatan gempa tektonik dan letusan Bumi secara besar-besaran dilihat sebagai sesuatu yang terjadi karena dan oleh oknum di luar pemahaman dan kekuasaan manusia. Mereka sebut ia pencipta di balik sana yang mahadahsyat, atau makhluk ilahi yang mahakuasa. Jadi, sebelum fenomena di luar logika manusia waktu itu, mereka tidak tahu kalau ada pihak lain di luar dari makhluk manusia dan sesama makhluk lainnya yang ada di Bumi. Mereka menyadari betapa guncangnya Bumi ini dan betapa dahsyatnya guncangan dan perubahan itu sehingga mereka berkesimpulan pasti ada pihak lain di luar, di atas, yang lebih dahsyat dan lebih berkuasa daripada manusia. (Catatan Lepas ini saya dapatkan dari seorang sahahat, saya tidak tahu ini bagian dari sebuah paper, artikel atau buku)

Ini tiga paragraph dari buku yang saya temukan hari ini, kebetulan saya berkesempatan dikirimkan email untuk memberikan komentar saya. Saya sudah meminta dan mendapatkan izin untuk mem-post tiga paragraph ini di blog ini.

Kata-Kata Powes Parkop di Port Moresby: Pemikiran OAP Masih Sangat Dasar

Teman saya sempat membaca catatan lepas dari mana sumbernya saya lupa, tetapi masih ingat intisari pembicaraan antara seorang West Papua dengan  Powes Parkop, Gubernur National Capital District (NCD) atau DKI Port Moresby di Papua New Guinea. Pembicaraan tentang pembangunan manusia Papua disinggung dalam diskusi dan Powes secara lantang menyatakan seperti ini, (kalimat diucapkan menurut yang dipahami)

Pemikiran OAP belum tiba ke tingkat yang kompleks, belum tiba ke abtraksi-abtraksi yang kompleks. OAP masih berpikiran sangat sederhana, sangat dasar. OAP tidak berpikir tentang tahun depan, jangankan 5 tahun depan. Maish sangat berorientasi ke kegiatan fisik, jadi mari kita rencanakan kegiatan-kegiatan yang berbasis kepada kegiatan fisik.

Parkopi kemudian melanjutkan bahwa konsep pembangunan yang berbasis sosial-kemasyarakatan telah gagal total di Papua New Guinea, dan oleh karena itu harus dipikirkan pembangunan yang berbasiskan individualisme.

Renungan Saya

Saya baca catatan lepas di atas berulang-ulang, dan berulang-ulang lagi, sampai sebentar pun saya akan baca ulang. Sambil membaca saya juga membandingkan dengan cara saya berpikir, cara saya memahami, dan cara saya mencerta apa yang saya baca, kemudian saya mencoba menonton tindak-lanjut dalam pemikiran saya dari bacaan dimaksud.

Saya juga berusaha melawan alasan dan rasionalisasi yang dilakukan oleh Powes Parkop terhadap diri saya sendiri. Memang apa yang dikatakan Parkop ini secara otomatis mendapat reaksi cepat untuk melawan dan membantah, tanpa saya berpikir, dia muncul sendiri, mulai dari irama saya membaca, raut muka saya juga berubah. Saya membaca ulang, tetapi reaksi tetap sama, ada perlawanan yang terjadi.

Itu pertanda bahwa saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan Parkop. Pertanyaannya, “Apakah yang sedang terjadi?” Apakah yang dikatakan Parkopi itu realitas kondisi saya?

Kesimpulan Saya sebagai pertanyaan

Dari dua catatan di atas saya mau mengusulkan dua kesimpulan sementara kepada semua OAP di manapun Anda berada

  1. Apakah evolusi OAP belum sempurna, belum bisa berpikir yang konseptual, masih reaksional, emosional, dan seasonal? Itukah sebabnya OAP selalu berfikir, berkata dan bersikap “emosional”, karena hilang akal maka emosi yang mendominasi?
  2. Apa yang OAP harus lakukan untuk menunjukkan diri sebagai  manusia yang sudah ber-evolusi penuh, sama dengan manusia lain di mana-mana di dunia?

Yikwanak Kole: Dunia adalah Ciptaan-mu, jangan tolak ke pihak lain…

Dunia ini adalah Ciptaan mu sendiri, baik, tidak baik, enak, tidak enak, semuanya….

Tugasku dan tugasmu bukan menjadi penyidik, pemeriksa, penilai, apalagi hakim dan jaksa atasnya, tetapi menjadi penonton setia, yang, menyaksikannya datang dan pergi, tanpa anda dan saya buat apa-apapun, berpikir-pun tidak.

<Jhon Yonathan Kwano>

Menipu = Perbedaan Antara yang Dikatakan dan Realitas yang Ada/ yang Dilakukan

Tindak-lanjut dari catatan sebelumnya, tentang topik ini, saya, Yikwanak.com Kole, atas nama kalian Yikwanak.com mengatakan bahwa “tipu”, atau “dusta” ialah

Perbedaan Antara yang Dikatakan dan Realitas yang Ada/ yang Dilakukan

Entah perbedaan itu besar atau kecil, entah berat atau tidak, pokoknya ada perbedaan, maka itulah “tipu”.

Biarpun dengan niat baik, dengan tujuan baik, tipu tetap-lah tipu. Menurut filsafat hidup orang Melanesia, di mana Yikwanak.com dilahirkan, hukuman dari “menipu” ialah “tidak dipercaya seumur hdup”.

Apa yang terjadi dengan banyak Yiwkanak.com hari ini? Yang tipu-tipu rakyat di Pilkada dan Pemulikada dan di mimbar-mimbar? Saya mewakili Yikwanak.com juga malu, karena itu saya mengaju secara jujur, mewakili kalian semua.

Does hiding a truth constitute lying?

PENJELASAN AWAL

Saudara-saudara keluarga besar Yikwanak.com di manapun Anda berada. Ada pelajaran penting yang saya dapat hari ini tanggal 6 November 2018. Pada hari ini saya sedang membuat teman-teman WordPress untuk kepentingan pribadi.

Tema-tema yang saya kembangkan punya beberapa tambahan yang saya mau lakukan, yang sering saya dapati di Internet, khususnya di situs stackoverflow.com, akan tetapi kali ini agak sulit saya dapatkan.

Saya sedang cari script .php yang bisa membantu saya menampilkan “Popular Posts dari Kategori yang sedang saya lihat”, atau dengan kata lain “Popular Posts in This Category”.  Saya sudah lama punya satu script, tetapi begitu WordPress diupgrade, maka sudah tidak dapat saya gunakan lagi.

Tema yang sedang saya kembangkan saya sebut “Twodder Hybrid“, silahkan simak penjelasan saya tentang tema ini di link ini.

Sesampai di stackoverflow.com, saya tidak mendapatkan jawaban persis seperti yang saya inginkan. Maka saya cari link lain di sisi kanan atas, juga tidak ada, maka saya cari topik di bagian bawah, yang sebenarnya bukan bagian dari JS atau CSS atau WordPress juga tidak terkait. Tetapi di situ ada topik-topik umum yang sreing ditanyakan. Dan kagetnya, judul ini “Does hiding a truth constitute lying?” adalah yang pertama terdaftar dalam bilik ini.

Saya jadi tertarik, lupakan sebentar script untuk tema WordPress karena tema yang ada ini lebih penting buat hidup saya hari ini dan hidup saya setelah saya ada di alam baka.

PERTANYAAN

Tulisan itu berlanjut di bawah, maaf saya coba terjemahkan untuk mempermudah pembacaan saya juga:

I am expected to tell the truth if asked. But sometimes I hide the truth. For example once , although I have diabetes, I ate sweet in a shop and then I withdrew money from atm. My wife called me and asked me what am I doing outside ? I said I am withdrawing money from ATM. I deliberately did not tell her that I primarily came out to eat sweets.

If a person hides a truth for his profit then does it constitute lying ? <https://philosophy.stackexchange.com/questions/56836/does-hiding-a-truth-constitute-lying>

Artinya: Saya diharapkan menjawab yang benar saat ditanya. Tetapi kadangkala saya sembunyikan yang sebenarnya. Misalnya, sekali waktu, walaupun saya terkena penyakit diabetes, saya sampaikan makan gula-gula di satu toko dan kemudian saya tarik uang dari atm. Isteri saya panggil saya dan tanya saya sedang apa di luar sana? Saya sedang tarik uang dari ATM. Saya dengan sengaja tidak beritahu dia bahwa tujuan utama saya keluar kemari adalah untuk makan gula-gula.

Bila seseorang menyembunyikan kebenaran untuk keuntungannya sendiri, apakah ini sudah termasuk dosa?

TANGGAPAN

  • This is usually called lying by ommission – Cedric Martens 5 hours ago
  • I am expected to tell the truth if asked. Expected by whom? Yourself? If so, then you must always be true to yourself. By your wife? If she’s as vital to you as you are to yourself, then you must be true to her as well. This may mean that you will have to stop eating things that harm your health 😉 – Bread 4 hours ago
  • Deliberately choosing to misunderstand a question so your answer is more favorable to yourself is unethical, yes, whether or not it is technically lying. – ESR 1 hour ago

Tanggapan ini mengatakan sebagai berikut

  • Ini biasanya disebut menipu dengan menghilangkan. – Cedric Martens 5 hours ago
  • Saya diharapkan beritahu yang benar kalau ditanya. Diharapkan oleh siapa? Olehmu sendiri? Kalau begitu, anda seharusnya berbuat benar kepada diri sendiri. Oleh isteri anda? Jika dia (isterimu) sama penting dengan anda menganggap dirimu sendiri, maka anda seharusnya berbicara benar kepadanya juga. Ini bisa berarti bahwa anda harus berhenti makan gula-gula yang akibatnya merusak kesehatanmu sendiri.
  • Dengan sengaja memilih untuk salah paham atas sebuah pertanyaan sehingga jawaban anda lebih condong kepada dirimu sendiri itu tidak etis, benar demikian, entah apakah secara teknis anda sedang menipu.

JAWABAN www.yikwanak.com:

Jawaban Yikwanak.com Kole ialah bahwa jelas ini tipu, pertama menipu diri sendiri, dan kedua menipu sesama, dalam hal ini menipu isteri. Secara awam kita sebut dosa putih dan dosa hitam, dosa kecil dan dosa besar, dosa untuk kebaikan, dan dosa untuk kepentingan bersama. Semuanya tipu.

Menurut Yiwakanak.com Kole, ini penipuan paling parah, karena sang suami berani menipu dirinya sendiri, dia terkena penyakit tetapi dia menipu isterinya untuk makan gula-gula. Saya harap saya tidak begitu, dan saya mengundang semua YIkwanak.com di luar sana tidak menipu diri sendiri, sama seperti orang ini.

Kami juga mengundang Anda, ya benar, Anda yang membaca tulisan ini, “Berhenti Menipu Diri Sendiri!” karena dengan demikian semua penipuan di muka Bumi akan lenyap.

Ingat, “Iblis adalah bapa segala pendusa!”:

 Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta (Alkitab Perjanjian Baru,Injil Yonanes 6:44)

 

Niat Baik Sering Disampaikan dengan Cara yang Justru Menjadi Bumerang Bagi Niat Baik itu Sendiri

Kisah ini mengajarkan kepada saya bahwa tidak semua niat baik itu akan dipuji orang lain, dan tidak semua niat baik itu dapat diwujudkan dengan cara-cara yang baik pula.

Ada banyak niat baik yang sering diwujudkan dengan cara-cara yang tidak tepat akibatnya malahan menjadi bumerang bagi niat kita itu sendiri.Dan ada banyak niat baik yang tidak dipuji, tetapi diremehkan, dan bahkan dicaci dan ditolak.

Oleh karena itu, kita hraus belajar dan terus belajar, sampai di alam sebelah-pun kita terus belajar!

Untuk Orang Melanesia, Apalagi New Guinea, jangan Terlalu Banyak Bicara yang Konseptual

Percakapan ini terjadi belum lama ini. Ada seorang pejabat negara Papua New Guinea bertemu dengan saya dalam rangka merintis bisnis antara Provinsi Papua dan Papua Barat dan Papua New Guinea, sesuai dengan gagasan Free Melanesia Trade Agreement yang sudah dalam proses penyelesaian.

Bicara banyak tentang konsep ekonomi, saya katakan kepadanya, Konsep Bisnis Melanesia ialah Kapitalis Sosial atau Kapitalisme Sosialis, sama seperti Sosialisme China yang berbentuk Kapitalisme Negarea tetapi dalam kasus Melanesia kapitalisme itu dalam basis sosial.

Kami panjang lebar membahasnya.

Tetapi dia bilang begini,

  1. Jangan terlalu banyak bicara tentang sistem sosial Melanesia
  2. Sistem sosial Melnaesia sudah rusak
  3. Yang terpentiing ialah individualisme di dalma sosial, oleh karena itu, titik berangkat pemikiran kita harus mulai dari “I”, yaitu saya, bukan kita, bukan kami, bukan saya dengan Anda.
  4. Oleh karena “Saya” melayani saya, maka saya akan sukses.
  5. Banyak proyek sosial di New Guinea sudah gagal total

Alasan dia seperti ini

  1. Orang New Guinea, atau Melanesia itu pada umumnya emosional, sangat psikomotorik,
  2. Orang Melanesia punya otak untuk berpikir belum berkembang begitu baik, masih lebih fisik
  3. Oleh karena itu jangan terlalu banyak sajikan mereka teori-teori dan tulisan-tulisan, nanti malah mereka berbalik marah.
  4. Sajikan saja kepada mereka main bole, lari-lari, jalan-jalan dan menari-menari, dan banyak cerita mob/ lucu-lucu. Kalau bicara konsep yang abstrak mereka tidak akan tertarik.

Dia pada prinsipnya bilang kognitif orang New Guinea tidak ada, artinya otak tidak main. Mereka atau kami lebih suka berkelahi dan main-main lawak daripada bicara yang sebenarnya, berpikir serius. Karena itu jagnan tulis-tulis banyak karena orang New Guinea akan terusik dengan itu, bukannya bersyukur.

Heeeee, he, he

Orang ini bicara tentang Anda dan saya.

  • Apakah Anda setuju?
  • Apakah Anda menolak pendapatnya?
  • Apa alasan Anda menerima atau menolaknya?

Ayo mari berpendapat, kalau tidak orang ini bisa saya bilang benar-benar betul.

“YIKWANAK.com itu rasional, konseptual dan detached”

Kalender sebagai Cara Manusia Memahami dan Memanfaatkan Waktu

Setiap saat ada peringatan-peringatan dirayakan umat manusia di seluruh dunia, dalam berbagai budaya yang menciptakan waktu (kalender).

Menurut catatan “Ancient Near East, kalender Egyptian dan Sumerian merupakan yang tertua, disusul dengan Babylonian calendar,  Zoroastrian calendar dan juga Hebrew calendar. Kalender yang kita gunakan sebagai kalender umum atau kalender barat atau kalender Masehi ialah  Gregorian calendar, yang diperkenalkan pada tahun 1582

Siklus waktu dapat disinkronisasi dengan fenomena periodik:

Kalender-kalender ini disusun didasarkan atas budaya manusia yang memahami pergerakan dan fenomena alamiah yang terjadi menurut budaya masing-masing kelompok manusia.

“Waktu” dipatok dengan tujuan, baik tujuan yang diakui maupun tujuan yang tidak diakui, bahkan tujuan yang tidak disadari. Waktu sebagai bagian dari budaya manusia. Sebelumnya saat budaya manusia belum kompleks manusia tidak mengenal waktu. Waktu yang dikenal pada umumnya sama dengan yang ada dalam budaya Melanesia saat ini, yaitu waktu pagi, siang, sore dan waktu malam, tidak ada tanggal, tidak ada minggu, bulan, tahun semuanya tidak ada. Begitu budaya manusia menjadi semakin kompleks, tatanan sosial menjadi semakin rumit, manusia mulai berinteraksi dalam kelompok yang lebih besar, maka muncul kebutuhan untuk mengelola diri manusia sebagai kelompok.

Bersamaan dengan itu terjadi konsentrasi kegiatan, konsentrasi kekuasaan dan konsentrasi kepemimpinan dalam pemerintahan. Ada sejumlah orang mengkhususkan diri untuk mengelola pikiran dan energi untuk menguasai, menyisahkan yang lain sebagai yang dikuasai. Lama-kelamaan tenaga, kekuatan dan kebutuhan masyarakat umum harus dikelola, yaitu dikelola untuk mendatangkan keuntungan bagi para penguasa, pengendali pikiran dan kehidupan sosial-politik.

Kehidupan menjadi semakin kompleks, dan butuh alat untuk mengendalikannya. Maka proses pe-waktu-an muncul terutama untuk mengendalikan pemanfaatan “sumberdaya” manusia dalam mengelola “sumberdaya” alam. Alam dan manusia menjadi “sumberdaya”.Bahkan waktu ikut menjadi “sumberdaya” untuk dimanfaatkan. Bahkan sampai ada ungkapan “Waktu adalah uang” telah merajai pikiran dan perbuatan manusia sampai hari ini. Tidak ada seorangpun yang membayangkan kapan kerajaan “duit” akan runtuh dalam sejarah kehidupan manusia.

Melanesia dan Waktu

Manusia dunia barat ialah manusia yang telah diperbudak dan budak abadi dari si “waktu”. Mereka selalu dikejar oleh waktu dan juga selalu mengejar waktu. Di sebagian besar Asia, waktu adalah karet, bisa dirarik, bisa diputar, bisa dilupakan. Di Melanesia waktu berhenti total, karena konsep dan realitas waktu di Melanesia kembali kepada konsep awal, “no time zone”, dari sisi jam, hari, minggu, bulan, tanggal, tahun. Yang ada hanya pagi, siang, sore, dan malam.

Itulah sebabnya pada hari ini sudah umum dikenal beberapa istilah berkaitan dengan waktu

  1. Waktu internasional artinya waktu yang berlaku di seluruh budaya modern
  2. Waktu karet, yaitu waktu yang dimanfaatkan di sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika
  3. Waktu Melanesia, yaitu ketika waktu berhenti total.

Sekarang pilihan kita untuk merenungkan dan memutuskan, waktu mana yang cocok dan bermanfaat untuk kita. Saya harap tidak ada dari kita yang mengatakan konsep “waktu” ini yang lebih baik daripada konsep “waktu” itu. Saya harap kita menerima semua konsep tentang waktu sesuai dengan konteks sosial-budaya dan geografis di mana kami berada.

Dalam konteks ini, kita perlu berpikir kembali apa artinya “perayaan”, “ulang tahun”, “peringatan”,  dan “pekerjaan” yang dikaitkan dengan waktu. HUT kelahiran, HUT pernikahan, HUT kemerdekaan, jam kerja dan waktu libur, dan sebagainya perlu dipikir ulang menurut konsep waktu tadi.

Konsep Waktu dalam Filsafat dan Sains (1)

Semua orang merasakan waktu, tetapi kebanyakan tidak mempertanyakan hal itu karena mereka mengalami setiap hari dan sangat intim (Fraser, 1987: 17-22). Jika kita ingin memahami sifat waktu, maka renungkanlah pertanyaan-pertanyaan mendasar ini:
• Apakah waktu benar-benar nyata?
• Bisakah kita menghentikannya?
• Bisakah kita membalikkannya?
• Apakah aliran waktu bersifat universal, atau hal itu hanya terkait dengan pengamat?
• Kapan waktu berawal, dan apakah ia memiliki akhir?
• Apakah ada waktu objektif, atau ia hanya suatu konstruksi dari imajinasi kita?
• Apakah ada hubungan antara ruang dan waktu?
• Bagaimana struktur waktu?
• Apakah waktu itu kontinu atau diskrit?
• Apakah arti dari kata “sekarang” dan “sebentar”?
• Mengapa waktu bergerak ke masa lalu?
• Bagaimana realitas masa depan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi subjek filsafat, fisika, dan kosmologi selama berabad-abad dengan sedikit kemajuan dalam menemukan jawabannya. Pertanyaan: “Apa itu waktu?”, tidak berbeda seperti pertanyaan: “Apa itu cinta?”; karena ia adalah sesuatu yang semua orang bisa merasakannya tapi tidak ada yang dapat memberikan definisi dengan tepat atasnya. Jika Anda mengajukan pertanyaan kepada banyak orang tentang waktu, pasti akan mendapatkan banyak jawaban. St. Augustine dalam Confessions bertanya, “Apa itu waktu?” Ketika tidak ada yang bertanya kepadanya, ia mengetahui; ketika seseorang bertanya kepadanya, ia tidak mengetahuinya.

Pemahaman mengenai waktu sangat penting dari sudut praktis di mana orang membutuhkan informasi untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa besar seperti banjir dan waktu panen, dan dari sudut filosofis didasarkan pada rasa ingin tahu dan cinta terhadap pengetahuan. Banyak agama dan aliran filsafat mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang waktu. Beberapa agama dan aliran filsafat mempertimbangkan waktu sebagai lingkaran tanpa awal atau akhir, ada juga yang menganggapnya sebagai linier dengan eksistensi pada masa lalu dan masa depan yang tak berbatas, dan ada pula yang menganggapnya sebagai imajiner karena eksistensi nyata adalah gerakan atau materi fisik saja.

Konsep waktu diperlukan ketika kita bertanya tentang kronologis suatu peristiwa dan durasinya. Dan karena hidup manusia dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang beragam jenisnya sehingga waktu memiliki tanda atau simbol pada semua aspek kehidupan. Beberapa contohnya seperti: proses penuaan secara biologis, ketepatan waktu dalam mekanika, arah waktu dan entropi dalam termodinamika, dan variasi waktu psikis yang dirasakan seseorang ketika menunggu sesuatu atau peristiwa. Oleh karena itu, waktu diperlukan untuk memahami realitas pada berbagai bidang yang terkait erat dengan fisika, biologi, psikologi, dan kosmologi.

Selama abad terakhir, seiring dengan konsep baru yang revolusioner dalam fisika dan kosmologi serta teknologi modern, akurasi ketepatan waktu menjadi sangat penting karena merupakan acuan bagi gerakan-gerakan yang sangat rumit—misalnya berbagai bagian mesin—karena diperlukan sistem kerja sama secara koheren. Pentingnya peristiwa waktu di Bumi dan di ruang angkasa telah disempurnakan oleh mesin yang mengukur ketepatan waktu seperti jam elektronik, jam atom, dan pulsar yang memancarkan gelombang radio pendek secara berkala dengan presisi sangat tinggi. Tetapi meskipun konsep-konsep abstrak tentang waktu seperti “perjalanan waktu” dan “kelengkungan waktu” yang dibawa oleh teori Relativitas, konsep modern kita mengenai waktu biasanya cukup praktis karena semuanya dilakukan sesuai jarum jam. Bahkan, teori fisika dan kosmologi modern telah menambahkan banyak pertanyaan dan paradoks tentang waktu daripada menjawabnya (Grunbaum, 1971, 195:230).
Sekarang kita dapat mengetahui dua aliran utama yang bertentangan secara filosofi mengenai waktu:
1. Rasionalis (realistis) yang memiliki pandangan berdasarkan pemahaman dunia fisik.
2. Idealis (dapat dikatakan irasional) berdasarkan pandangan metafisika.

Rasionalis percaya bahwa pikiran adalah kekuatan yang paling kuat dari manusia dan mampu memahami segala sesuatu di dunia, sedangkan irasionalis mempertimbangkan dunia, termasuk waktu, sebagai sesuatu di luar kemampuan pikiran. Menurut Idealis, tidak ada yang terlepas dari pikiran, termasuk waktu. Oleh karena itu, Idealis percaya bahwa waktu dikonstruk dalam pikiran dan tidak memiliki eksistensi terpisah darinya.

Konsep Waktu dalam Filsafat Yunani

Sejak masa Homer, kata Yunani chronos digunakan untuk merujuk kepada waktu. Chronos adalah dewa Yunani yang ketakutan terhadap anak-anaknya karena akan mengambil alih kerajaannya, sehingga ia memakan mereka satu persatu—seperti waktu yang membawa sesuatu menjadi eksistensi dan kemudian eksistensi tersebut kembali datang kepada waktu.

Kita sudah mengetahui dua aliran berlawanan mengenai waktu yang berbeda dengan pemikiran Plato dan Aristoteles. Plato menganggap waktu dibuat dengan dunia, sementara Aristoteles berpandangan bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang merupakan perluasan tak terbatas dan berkesinambungan. Plato mengatakan, “Waktu muncul bersama-sama dengan surga, karena keduanya menjadi secara bersamaan” (Cornford, 1997:99).

Aristoteles percaya bahwa proposisi Plato memerlukan titik waktu sebagai awal waktu yang memiliki waktu sebelumnya. Gagasan ini tak terbayangkan bagi Aristoteles sesuai dengan pendapat Demokritus mengenai konsep waktu tak diciptakan dan mengatakan: “Jika waktu adalah gerakan abadi, maka ia juga harus abadi karena waktu adalah anggota gerak. Mayoritas filsuf, kecuali Plato, menegaskan keabadian waktu. Waktu tidak memiliki batas (awal atau akhir), dan setiap saat adalah awal dari waktu masa depan dan akhir dari masa lalu” (Lettinck, 1994: 562).
Waktu menurut Aristoteles adalah kontinum, dan selalu dikaitkan dengan gerakan, dengan demikian tidak dapat memiliki awal (Lettinck, 1994: 241-259, 361). Di sisi lain, Plato menganggap waktu sebagai gerakan melingkar dari langit (Cornford, 2004: 103), sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa itu bukan gerakan waktu melainkan ukuran gerak (Lettinck, 1994: 351, 382, 390). Aristoteles jelas menghubungkan waktu rasional dan gerakan, tetapi di sini masalah timbul karena waktu adalah seragam, sementara beberapa gerakan ada yang cepat dan lambat. Jadi, kita mengukur gerak oleh waktu karena seragam—jika tidak demikian maka tidak dapat dikatakan sebagai ukuran. Untuk mengatasi masalah ini, Aristoteles mengambil gerakan bola surgawi sebagai referensi, dan semua gerakan lainnya beserta waktu diukur menurut gerakan ini (Badawi, 1965: 90). Di sisi lain, Aristoteles menganggap waktu sebagai khayalan karena itu adalah masa lalu atau masa depan dan keduanya tidak ada, sementara saat ini bukan bagian dari waktu karena tidak memiliki ekstensi (Lettinck, 1994: 348).

Kita akan melihat bahwa Ibn Arabi sependapat dengan pendapat Aristoteles bahwa waktu tak berujung dan ia adalah ukuran gerak, tetapi Ibn Arabi tidak menganggap waktu bersifat kontinum. Di sisi lain, Ibn Arabi setuju dengan Plato bahwa waktu diciptakan dengan dunia. Bahkan Plato menganggap waktu telah diciptakan, tetapi Aristoteles menolak pendapat ini karena ia tidak bisa membayangkan titik awal untuk dunia maupun waktu. Hanya setelah teori Relativitas Umum pada tahun 1915 lahir yang memperkenalkan ide “waktu melengkung”, bisakah kita membayangkan waktu yang terbatas tetapi kelengkungan waktu sebagai tanda memiliki awal. Dengan hal ini, kita bisa menggabungkan pandangan Plato dan Aristoteles yang berlawanan. Namun, Ibn Arabi melakukan hal tersebut tujuh abad sebelumnya, dan ia juga secara eksplisit berbicara tentang kelengkungan waktu, lama sebelum Einstein mengeluarkan teorinya.

Copyright © 218-2024 - Twenty Fourteen - 2014 AutoGrids 06.