Jakarta – DetikNews
Judul Buku: Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural; Penulis: Burhanuddin Muhtadi, Ph.D, Penerbit: Intrans Publishing, Malang, Maret 2019; Tebal: xxiv + 304 Halaman
Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden serta para calon legislatif perlahan menunjukkan konfidensi popularitasnya di mata publik pemilih, terkhusus menjelang detik-detik pencoblosan. Setiap dari mereka sudah sejak lama memupuk rasa keberpihakan dan kedekatan terhadap rakyatnya. Oleh sebab itu, benarlah yang dikatakan oleh Edward A. Shils (1989) bahwa pemimpin populisme sangat dekat “memihak” dan “dekat dengan rakyat”.
Ajang demokrasi lima tahunan kali ini benar-benar melelahkan. Ada begitu banyak energi yang terbuang ke permukaan dan sayangnya yang tampak hanyalah gelembung ujaran kebencian. Sementara kepastian dampak janji politiknya masih belum dapat diprediksi secara signifikan realisasinya bagi si miskin yang lapar dan yang tak bertempat tinggal. Namun, di sudut lain terus menerus narasi yang diusung oleh para kandidat cenderung khas ala programatik populis tanpa dibarengi keterukuran resonansi capaiannya.
Pada saat semua mata publik tertuju ke arah popularitas 01 dan 02, maka bersamaan dengan itu juga ada para calon legislatif (caleg) yang bertarung habis-habisan tanpa pernah tersorot mata lensa. Untuk mendulang suara elektabilitas terkadang ujaran kebencian ditebar, sebutan kaum “cebong” dan kaum “kampret”yang jauh dari substansi demokrasi pun seolah dipatut-patutkan. Betapa celakanya prosedur demokrasi yang berakhir pada perendahan harkat martabat masing-masing golongan.
Pesta demokrasi yang –katanya– mesti dihiasi kegembiraan dan antusias mendadak tergerus dengan narasi-narasi kecemasan dan ketakutan. Sebagian akademisi kerap menyebut Pemilu 2019 ini sebagai ancaman bagi dekandensi moral demokrasi kita. Sementara bagi sebagian mantan calon legislatif (caleg) 2014 menyebut pemilu kali ini sebagai “medan gelap kontestasi”, sehingga mereka memilih “kapok” untuk terlibat berkontestasi lagi di pemilu kali ini. Alasannya antara lain karena cost politics yang terlampau tinggi yang ditanggung oleh individu caleg, plus sempitnya peluang untuk menang.
Sampai di sini, apa yang salah dari populisme calon pemimpin kita? Dan, apa yang menjadi ancaman dari politik identitas saat ini? Lalu, mengapa institusi elektoral kita tak beranjak dari kebuntuannya? Di sini kita membutuhkan tak sekadar jawaban.
Buku ini lahir di tengah mencekamnya politik identitas dan menguatnya model kepemimpinan populis. Ia lahir dan mencatat rekam jejak serta laju demokrasi prosedural di Indonesia, khususnya sejak pasca-Reformasi berlangsung. Bagi Burhanuddin Muhtadi, tanpa ada catatan kritis yang terdokumentasi dan upaya meredemokrasi sistem pemilu agaknya mencapai demokrasi seutuhnya hanya menjadi mimpi di siang bolong.
Burhanuddin membagi kajian dalam buku ini menjadi beberapa bagian. Pertama ia mengulas tentang populisme dan politik identitas. Kedua, koalisi transaksional dan kutukan sistem presidensial. Ketiga, rekonsolidasi politik Jokowi. Keempat, dinamika elektoral jelang Pemilu Serentak 2019. Keempat, membahas tentang ideologi partai, oportunisme elite dan perilaku pemilih. Pada bagian terakhir mengulas tentang partai politik dan episentrum korupsi di Indonesia.
Dari keseluruhan ragam variabel masalah yang dihadirkan, setidaknya titik interseksi penting ada pada menguatnya populisme dan politik identitas yang berdampak pada laju birokrasi elektoral.
Populisme akan selalu menarik ketika ia dipertarungkan dan agaknya para pakar politik menyepakati itu. Terlepas dari varian dan kategori populisme wong cilik, populisme otoriter dan populisme revolusioner sebagaimana yang dimaksud oleh Canovan. Populisme dalam politik hingga kini masih ada dalam ruang remang pendefinisian.
Dari segi implementasi, populisme yang ditawarkan dalam politik elektoral tidaklah mesti berbuah manis. Kadang pula ia justru menjadi benalu bagi tumbuhnya indeks demokrasi suatu Negara. Dirilis oleh Economist Intelligence Unit yang dilansir dalam Indeks Demokrasi Global pada 2010, Thailand di posisi ke-57, Papua Nugini di posisi 59, sementara Timur Leste berada di posisi 42. Sementara demokrasi Indonesia berada pada posisi ke-60. Sebabnya, kadar toleransi di Indonesia yang terus menipis sehingga mempengaruhi pada laju intensitas pelanggaran kebebasan beragama.
Di sisi lain yang mempengaruhi laju demokrasi prosedural terletak pada institusinya. Salah satu efek turunan dari keremangan sistem pemilu terletak pada efek elektoral yang tidak lagi menghadirkan para legislator yang menawarkan gagasan dan justru yang terjadi ialah menguatnya money politics.
Dalam hal menyikapi maraknya politik uang, menurut Burhanuddin ada tiga faktor yang mempengaruhi. Pertama, desain kelembagaan atau faktor institusional. Kebijakan proporsional terbuka terlampau mengarahkan politik elektoral bertumpu pada personal vote dan kepada para kandidat, sementara kebijakan desentralisasi pada arena elektoral yang dengan jumlah pemilih lebih sedikit.
Kedua, tingkat pendidikan dan pendapatan. Pemilih berpendapatan rendah (miskin) berkecenderungan menerima pemberian uang ketimbang menimbang alasan rasional programatik yang ditawarkan para kandidat. Ketiga, politik uang sebagai produk sosial dan kultural masyarakat. Kuatnya hubungan patron-klien menjadi pupuk penyubur praktik politik uang. Patron berperan sebagai penyuplai produk atau uang untuk melesatkan kepercayaan dan loyalitas klien.
Melawan politik uang dalam ajang pemilihan umum memanglah bukan hal yang mudah. Tapi, semua praktik tersebut bisa dilakukan secara sederhana melalui perbaikan sistem dalam pemilu. Dalam instrument sistem yang baik, iblis yang diasumsikan jahat akan beranjak menjadi baik. Sementara dalam instrumen sistem yang buruk, malaikat yang diasumsikan baik sekalipun akan menjadi buruk.
Setelah sampai pada poin perbaikan sistem institusi, Burhanuddin menawarkan perlunya merubah pola pendekatan metode atau kedekatan sosio-demografis menjadi pendekatan metode rasional. Sebab, pendekatan sosio-demografis hanya menawarkan populisme yang cenderung negatif dan potensi menghilangkan unsur-unsur sosialisasi-rasional dalam proses pertimbangan memilihnya.
Dalam melihat perilaku pemilih, bagi Burhanuddin sendiri bukanlah hal sederhana. Perilaku pemilih merupakan gejala yang kompleks, karena keputusan pemilih ditentukan oleh banyak faktor. Seorang calon yang berasal dari kelompok identitas primordial tertentu belum tentu dapat menarik suara mayoritas di kelompoknya sendiri. Hal tersebut terjadi karena ada faktor identitas.Para pemilih juga mempertimbangkan faktor lain, terutama kualitas personal calon. Kondisi tersebut dalam dinamika politik lokal sering kali membuka ruang mobilisasi politik identitas.
Buku ini tidaklah hadir tanpa kritik. Tentu masih ada banyak celah yang bisa dikritik dalam melihat akar permasalahan demokrasi prosedural. Pendekatan institusional memang akan selalu terhenti pada perbaikan sistem, sementara akar ketimpangan hak politik, hak ekonomi dan sosial budaya hanya akan terhenti pada melihat gejala demi gejala yang muncul di permukaan.
Abdurrachman Sofyan peneliti Intrans Institute Malang
(mmu/mmu)