Loading, please wait...
 

Archives by date

You are browsing the site archives by date.

 results 1 - 3 of about 3 for January, 2018 . (0.328 seconds) 

 🡩

Konsep Waktu dalam Filsafat dan Sains (1)

Semua orang merasakan waktu, tetapi kebanyakan tidak mempertanyakan hal itu karena mereka mengalami setiap hari dan sangat intim (Fraser, 1987: 17-22). Jika kita ingin memahami sifat waktu, maka renungkanlah pertanyaan-pertanyaan mendasar ini:
• Apakah waktu benar-benar nyata?
• Bisakah kita menghentikannya?
• Bisakah kita membalikkannya?
• Apakah aliran waktu bersifat universal, atau hal itu hanya terkait dengan pengamat?
• Kapan waktu berawal, dan apakah ia memiliki akhir?
• Apakah ada waktu objektif, atau ia hanya suatu konstruksi dari imajinasi kita?
• Apakah ada hubungan antara ruang dan waktu?
• Bagaimana struktur waktu?
• Apakah waktu itu kontinu atau diskrit?
• Apakah arti dari kata “sekarang” dan “sebentar”?
• Mengapa waktu bergerak ke masa lalu?
• Bagaimana realitas masa depan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi subjek filsafat, fisika, dan kosmologi selama berabad-abad dengan sedikit kemajuan dalam menemukan jawabannya. Pertanyaan: “Apa itu waktu?”, tidak berbeda seperti pertanyaan: “Apa itu cinta?”; karena ia adalah sesuatu yang semua orang bisa merasakannya tapi tidak ada yang dapat memberikan definisi dengan tepat atasnya. Jika Anda mengajukan pertanyaan kepada banyak orang tentang waktu, pasti akan mendapatkan banyak jawaban. St. Augustine dalam Confessions bertanya, “Apa itu waktu?” Ketika tidak ada yang bertanya kepadanya, ia mengetahui; ketika seseorang bertanya kepadanya, ia tidak mengetahuinya.

Pemahaman mengenai waktu sangat penting dari sudut praktis di mana orang membutuhkan informasi untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa besar seperti banjir dan waktu panen, dan dari sudut filosofis didasarkan pada rasa ingin tahu dan cinta terhadap pengetahuan. Banyak agama dan aliran filsafat mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang waktu. Beberapa agama dan aliran filsafat mempertimbangkan waktu sebagai lingkaran tanpa awal atau akhir, ada juga yang menganggapnya sebagai linier dengan eksistensi pada masa lalu dan masa depan yang tak berbatas, dan ada pula yang menganggapnya sebagai imajiner karena eksistensi nyata adalah gerakan atau materi fisik saja.

Konsep waktu diperlukan ketika kita bertanya tentang kronologis suatu peristiwa dan durasinya. Dan karena hidup manusia dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang beragam jenisnya sehingga waktu memiliki tanda atau simbol pada semua aspek kehidupan. Beberapa contohnya seperti: proses penuaan secara biologis, ketepatan waktu dalam mekanika, arah waktu dan entropi dalam termodinamika, dan variasi waktu psikis yang dirasakan seseorang ketika menunggu sesuatu atau peristiwa. Oleh karena itu, waktu diperlukan untuk memahami realitas pada berbagai bidang yang terkait erat dengan fisika, biologi, psikologi, dan kosmologi.

Selama abad terakhir, seiring dengan konsep baru yang revolusioner dalam fisika dan kosmologi serta teknologi modern, akurasi ketepatan waktu menjadi sangat penting karena merupakan acuan bagi gerakan-gerakan yang sangat rumit—misalnya berbagai bagian mesin—karena diperlukan sistem kerja sama secara koheren. Pentingnya peristiwa waktu di Bumi dan di ruang angkasa telah disempurnakan oleh mesin yang mengukur ketepatan waktu seperti jam elektronik, jam atom, dan pulsar yang memancarkan gelombang radio pendek secara berkala dengan presisi sangat tinggi. Tetapi meskipun konsep-konsep abstrak tentang waktu seperti “perjalanan waktu” dan “kelengkungan waktu” yang dibawa oleh teori Relativitas, konsep modern kita mengenai waktu biasanya cukup praktis karena semuanya dilakukan sesuai jarum jam. Bahkan, teori fisika dan kosmologi modern telah menambahkan banyak pertanyaan dan paradoks tentang waktu daripada menjawabnya (Grunbaum, 1971, 195:230).
Sekarang kita dapat mengetahui dua aliran utama yang bertentangan secara filosofi mengenai waktu:
1. Rasionalis (realistis) yang memiliki pandangan berdasarkan pemahaman dunia fisik.
2. Idealis (dapat dikatakan irasional) berdasarkan pandangan metafisika.

Rasionalis percaya bahwa pikiran adalah kekuatan yang paling kuat dari manusia dan mampu memahami segala sesuatu di dunia, sedangkan irasionalis mempertimbangkan dunia, termasuk waktu, sebagai sesuatu di luar kemampuan pikiran. Menurut Idealis, tidak ada yang terlepas dari pikiran, termasuk waktu. Oleh karena itu, Idealis percaya bahwa waktu dikonstruk dalam pikiran dan tidak memiliki eksistensi terpisah darinya.

Konsep Waktu dalam Filsafat Yunani

Sejak masa Homer, kata Yunani chronos digunakan untuk merujuk kepada waktu. Chronos adalah dewa Yunani yang ketakutan terhadap anak-anaknya karena akan mengambil alih kerajaannya, sehingga ia memakan mereka satu persatu—seperti waktu yang membawa sesuatu menjadi eksistensi dan kemudian eksistensi tersebut kembali datang kepada waktu.

Kita sudah mengetahui dua aliran berlawanan mengenai waktu yang berbeda dengan pemikiran Plato dan Aristoteles. Plato menganggap waktu dibuat dengan dunia, sementara Aristoteles berpandangan bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang merupakan perluasan tak terbatas dan berkesinambungan. Plato mengatakan, “Waktu muncul bersama-sama dengan surga, karena keduanya menjadi secara bersamaan” (Cornford, 1997:99).

Aristoteles percaya bahwa proposisi Plato memerlukan titik waktu sebagai awal waktu yang memiliki waktu sebelumnya. Gagasan ini tak terbayangkan bagi Aristoteles sesuai dengan pendapat Demokritus mengenai konsep waktu tak diciptakan dan mengatakan: “Jika waktu adalah gerakan abadi, maka ia juga harus abadi karena waktu adalah anggota gerak. Mayoritas filsuf, kecuali Plato, menegaskan keabadian waktu. Waktu tidak memiliki batas (awal atau akhir), dan setiap saat adalah awal dari waktu masa depan dan akhir dari masa lalu” (Lettinck, 1994: 562).
Waktu menurut Aristoteles adalah kontinum, dan selalu dikaitkan dengan gerakan, dengan demikian tidak dapat memiliki awal (Lettinck, 1994: 241-259, 361). Di sisi lain, Plato menganggap waktu sebagai gerakan melingkar dari langit (Cornford, 2004: 103), sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa itu bukan gerakan waktu melainkan ukuran gerak (Lettinck, 1994: 351, 382, 390). Aristoteles jelas menghubungkan waktu rasional dan gerakan, tetapi di sini masalah timbul karena waktu adalah seragam, sementara beberapa gerakan ada yang cepat dan lambat. Jadi, kita mengukur gerak oleh waktu karena seragam—jika tidak demikian maka tidak dapat dikatakan sebagai ukuran. Untuk mengatasi masalah ini, Aristoteles mengambil gerakan bola surgawi sebagai referensi, dan semua gerakan lainnya beserta waktu diukur menurut gerakan ini (Badawi, 1965: 90). Di sisi lain, Aristoteles menganggap waktu sebagai khayalan karena itu adalah masa lalu atau masa depan dan keduanya tidak ada, sementara saat ini bukan bagian dari waktu karena tidak memiliki ekstensi (Lettinck, 1994: 348).

Kita akan melihat bahwa Ibn Arabi sependapat dengan pendapat Aristoteles bahwa waktu tak berujung dan ia adalah ukuran gerak, tetapi Ibn Arabi tidak menganggap waktu bersifat kontinum. Di sisi lain, Ibn Arabi setuju dengan Plato bahwa waktu diciptakan dengan dunia. Bahkan Plato menganggap waktu telah diciptakan, tetapi Aristoteles menolak pendapat ini karena ia tidak bisa membayangkan titik awal untuk dunia maupun waktu. Hanya setelah teori Relativitas Umum pada tahun 1915 lahir yang memperkenalkan ide “waktu melengkung”, bisakah kita membayangkan waktu yang terbatas tetapi kelengkungan waktu sebagai tanda memiliki awal. Dengan hal ini, kita bisa menggabungkan pandangan Plato dan Aristoteles yang berlawanan. Namun, Ibn Arabi melakukan hal tersebut tujuh abad sebelumnya, dan ia juga secara eksplisit berbicara tentang kelengkungan waktu, lama sebelum Einstein mengeluarkan teorinya.

 ‡ Filsafat Yunani, konsep,  Length: [1009] words.

Detik, Menit, Jam, Hari, Minggu, Bulan, Tahun, TIDAK PERNAH menjadi BARU!

Sejak pemikiran manusia “tercerahkan” di era Pencerahan, manusia mulai berpikir segala-sesuatu sebagai sebuah pergerakan dari satu titik ke titik lain, secara linear. Dari pemikiran inilah, maka muncul pandangan bahwa waktu ini bergerak dari satu titik ke titik lain, secara linear. Kita kenal teori Newtonian yang linear. Kita

Gideon Kristian: Tiga Macam Waktu Tuhan

Renungan tentang Konsep Waktu
Renungan tentang Konsep Waktu

Penulis : Gideon Kristian

Dalam membicarakan waktu Tuhan, kita bertemu dengan tiga istilah dalam Alkitab (bah. Aslinya)

1. Waktu Kronos

Yang dimaksud Kronos adalah waktu yang biasa, yang selalu ada. kronos menunjukan jangka waktu tertentu, entah itu waktu yang singkat (sekejap mata, Luk 4:5) Atau waktu yang lama (Luk 8:27; 20:9). Dengan demikian kita mengerti bahwa kata Yunani kronos dipakai berhubungan dengan jam, bulan, dan tahun. Waktu kronos adalah siklus waktu yang biasa.

2. Waktu Aion:

Kata Aion dipakai untuk menunjukan entah waktu yang lama sekali, atau waktu yang tanpa batas. Oleh sebab itu waktu aion dipakai tentang waktu ini yang mulai dengan penciptaan dan berakhir denga kedatangan Kristus yang kedua kali; atau juga tentang waktu kekekalan, yaitu waktu tanpa batas. (Matius 12:32 dunia inidan dunia yang akan datang. Yang diterjemahkan dengan kata dunia adalah aion (lih. Ef 1:21)

3. Waktu Kairos :

Kata kairos berbicara tentang periode tertentu. Kalau waktu itu sudah lewat, tidak akan kembali lagi (Roma 5:6) Oleh sebab itu waktu kairos berbicara tentang kesempatan dan momentum yang ada di waktu waktu tertentu.

Galatia 6: 10 Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman – artinya, kalau kesempatan tidak digunakan, maka waktu (kairos) akan hilang.

Kalau kita tidak cermat kita akan kehilangan kesempatan. Sebab itu kita harus memperhatikan waktu pintu terbuka dan waktu pintu tertutup. Alkitab berkata, Apabila Ia (Yesus ) membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka. (wahyu 3:7)

Ada waktunya Tuhan membuka pintu masuk bagi kita dalam sebuah kesempatan. Bila mana kita tidak masuk, pintu akan tertutup. *Pintu itu bisa sebuah kesempatan kesempatan baik yang kita miliki. Yang mungkin Cuma sekali saja. Jadi perhatikan KAIROS yang Tuhan berikan. Jadilah peka, bijaksana, berani mengambil keputusan namun tidak terburuburu. Atau anda akan menyesalinya!

Catatan saya:

Saya sadari bahwa agama pada umumnya adalah warna kehidupan modern, ciri penting dari manusia modern ialah ia “punya agama”. Tanpa agama sering secara langsung dihubungkan dengan “purba”, “adat”, “tidak modern”. Oleh karena itu konsep waktu dalam Alkitab ini mengajarkan pandangan masyarakat modern tentang “waktu”.

Sedangkan masyarakat adat (Madat), secara khsusus Madat Melanesia memiliki konsep waktu tanpa tanggal dan bulan, tanpa jam, menit dan detik. Tanpa tahun dan abad. Madat Melanesia hanya mengenal pagi, siang, sore, dan malam; kemarin, kemarin dulu, besok, dan besok lusa. Tidak mengenal minggu depan, minggu lalu. Apalagi tahun depan atau tahun lalu. Hanya mengenal barusan lalu, dulu sekali, besok-besok, nanti kapan-kapan.

Dibandingkan antara kedua pandangan ini, maka kita manusia Papua secara sepihak perlu memaknai “waktu” di era yang modern ini secara bijaksana. Cara-cara yang saya anjurkan buat diri saya sendiri ialah sebagai berikut:

  1. Pertama, saya usahakan supaya diri saya tidak terkesan dikejar waktu, atau mengejar waktu. Walaupun saya tahu tanggal dan bulan, minggu dan tahun, saya melepaskan diri dari kesan di hati dan tubuh saya, otak dan pikiran saya, kesan saya dikejar waktu atau saya mengejar waktu.
  2. Kedua, saya juga usahakan supaya saya tidak ketinggalan zaman, sehingga orang lain bisa menilai saya manusia purba yang terpaksa ada di zaman ini. Jadi, saya tetap menggunakan waktu modern, tetapi dengan cara memperlakukannya sebagai sahabat yang bersahabat, yang tidak perlu saya kejar, dan juga dia tidak perlu kejar saya. Segala sesuatu saya berikan waktu yang luas, sehingga saya tidak merasa terdesak dan terpaksa. Dengan cara ini memang sangat sulit, terutama dalam berbisnis. Oleh karena itu yang harus berubah ialah mentalitas saya, cara berpikir saya, cara respon saya berikan dari otak, pikiran dan naluri saya, saya harus perlakukan apa yang harus saya lakukan sebagai sebuah pelayanan, sebuah amanat yang harus kutanggung, bagian dari panggilan hidup. Bukan karena kewajiban, bukan karena tugas, tidak karena dipaksa, tetapi karena memang saya mau melakukannya, dan karena saya senang melakukannya. Mental saya dengan sengaja saya setting sehingga pelayanan penjualan dan pembelian yang saya lakukan dalam dunia bisnis tidak terasa seperti “saya harus”, tetapi menjadi “saya beruntung karena mendapatkan tanggungjawab melaksanakan tugas pelayanan ini”. Dalam dunia bisnis disebut “passion”, akan tetapi yang saya maksudkan di sini lebih dari itu. Walaupun bukan “passion”, saya juga membantu pikiran saya untuk selalu “gembira” dan “bersedia” melayani konsumen, karena mereka mereka membutuhkan pelayanan saya, dan terutama karena saya merasa senang melakukannya.

    Dengan kata lain, secara prinsipil saya memberitahukan kepada diri sendiri bahwa waktu ini adalah sebuah “kairos”, bukan “kronos”, yang dipersembahkan oleh Tuhan untuk saya, dalam tubuh dan kondisi hidup ini tunaikan demi kepentingan pengembangan jiwa dan rohani saya secara pribadi. Tidak ada yang diuntungkan dari apa yang saya lakukan ini, selain diri saya sendiri, dalam hidup ini dan terutama setelah saya meninggalkan tubuh dan dunia fisik ini.

  3. Waktu dengan konsep “Ainon” inilah waktu menurut pengalaman hidup manusia Melanesia. Waktu Melanesia tidak mengenal kalender, periode, era. Kita hanya mengenal sebelum lahir, setelah lahir dan sampai di situ. Tidak banyak yang membahas tentang setelah meninggal dunia. Yang orang Melanesia tahu ialah “I was here, I am here, and I will be here forever” (saya ada di sini kemarin, hari ini, besok dan selama-lamanya).

Dalam kaitannya dengan berbagai perayaan, seperti Lebaran, Natalan dan Tahun baru, HUT Kelahiran, HUT Pernikahan, HUT Kematian, dan sebagainya, yang ditentukan oleh waktu-waktu menurut konsep “waktu” masyarakat modern, maka kita sebagai orang Melanesia perlu secara bijak memiliki dan menikmati konsep waktu dan perayaan sebagaimana seharusnya.

Kita harus keluar dari pembatasan modern tentang waktu.

  • Apa artinya hari kelahiran saya?
  • Apa artinya hari kematian saya?
  • Apa artinya hari kelahiran Yesus?
  • Siapa yang menentukan hari-hari ini?
  • Waktu dan tanggal menurut siapa: China, Eropa, Jawa, Indian, Aborigine? Banyak Kalender waktu di dunia, mana yang kita anggap sebagai “waktu” yang tepat untuk kita?

Yang terpenting saya rasa kita tidak termakan oleh “waktu” yang di-setting dengan sengaja sejak era pencerahan dimulai, lewat proyek modernisasi, dengan etika religious yang mengutamakan kerja, kerja dan kerja, yang mengabaikan esensi kehidupan, yang melupakan maksud manusia hadir ke planet Bumi, hidup, dan mati.

Kita harus keluar dari lingkaran setan waktu buatan manusia. Sudah saatnya kita berdialogue langsung dengan Tuhan, Sang Pencipta, Moyang, Dewa, entah siapa yang kita agungkan dan percaya sebagai yang “maha” di atas kita, dan memiliki kerinduan dan doa seperti ini, “Ya…. saya mau memahami dan menjalani hidup saya menurut dan sesuai waktu-waktu …., bukan waktu menurut masyarakat modern, bukan waktu seperti saya pahami yang terbatas ini.”

Saya curiga berat, jawabannya kemungkinan besar “Waktu tidak ada urusan dengan saya! Itu buatan kalian manusia. Jadi, jawabannya keluar dari lingkaran setan waktu buatan manusia, waktu yang dapat dipahami otak yang tidak sanggup memahami apa itu waktu, atau memang waktu itu pernah ada?

Copyright © 218-2024 - Twenty Fourteen - 2014 AutoGrids 06.