

Dari Rimba New Guinea, Yikwanak Kole mau sampaikan “Salam Hormat!”, “Salam Jumpa kembali!” dan “Salam juang!”
Banyak hal telah terjadi dalam kehidupan ini, yang membawa saya kepada posisi hari ini, sebagai seorang manusia, yang pernah dilahirkan ke muka Bumi ini, oleh seorang ibu bermarga Yikwa. Bagi kita semua yang dilahirkan dari kandungan seorang perempuan Yikwa, tentunya kita memiliki satu aliran darah, darah seorang perempuan Yikwa, yang selalu mengalir dalam kehidupan kita masing-masing.
Memang benar, kita juga membawa darah dari ayah kita masing-masing, tentu saja dengan demikian kita memiliki banyak marga, seperti Kogoya, Karoba, Tabuni, Wanimbo, Walela, dan sebagainya, kita tetap satu dalam kandung, yaitu dari kandungan seorang perempuan Yikwa.
Dengan dasar pemikiran berdasarkan realitas hukum alam yang mutlak ini, saya sebagai salah satu anak dari perempuan Yikwa yang telah memilih untuk bertindak membela hak asasi bangsa Papua dengan resiko yang tinggi, saya mengundang Anda sekalian, semua anak-anak perempuan Yikwa, untuk bersatu dalam pikiran, perasaan, dan perjuangan, sama dengan satu dalam kandungan dan aliran darah tadi.
Mari kita bekerjasama dalam membela hak asasi bangsa kita, tanah leluhur kita, keturunan kita, keluarga kita, anak-cucu kita.
Saya, Yikwana Kole, sebagai salah satu anak dari perempuan Yikwa, telah menjalani kehidupan ini, telah mengalami manis dan pahit, telah melewati berbagai rintangan yang mudah dilalui maupun yang sangat menantang untuk dilalui.
Saya, Yikwanak Kole, salah seorang anak dari perempuan Yikwa, mengundang kita semua, semua orang-orang Yikwanak di mana-pun Anda berada, untuk sadar dan sadar, bahwa kehidupan ini hanyalah sementara, kehidupan ini tidak akan lama, sama seperti bungan yang hanya segar di pagi hari, setelah itu akan layu, dan keesokannya harinya telah lenyap.
Saya, Yikwanak Kole, salah seorang anak perempuan Yikwa, mengundang kita semua anak-anak perempuan Yikwa, untuk berpikir dan bertindak sama seperti ibunda kita, yaitu perempuan Yikwa, yang selalu berani, selalu lantang, dan selalu bertindak, tidak memikirkan resiko dari perbuatannya. Ia selalu bertindak, dan bertindak, dan bertindak! Kita dilahirkan sebagai orang-orang besar, orang-orang Yikwanak, karena ibu kita yang begitus keras dan tegas, dan berani.
Anak-anak mereka seharusnya berani, tegas dan bertindak sesuai hatinurani, membela kebenaran dengan resiko apapun.
Untuk berkomunikasi selanjutnya, silakan email: kole@yikwanak.com
Saya masih ingat waktu itu bulan Juni tahun 2000, baru saja setelah selesai menghadiri Kongres Rakyat Papua II, 2000 di GOR Jayapura yang diumumkan tanggal 4 Juni 2000.
Waktu itu ada tiga peristiwa yang harus saya laporkan kepada dunia agar mengetahuinya.
Jadi, kalau ada orang Koteka, orang Papua yang menyangkal UUDS NRWP, maka mereka adalah kaki-tangan NKRI.
Yang tidak bisa dirubah hanyalah matahari terbit di barat dan terbenam di Timur. Pintu bagi bangsa manapun di dunia untuk merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara akan selalu terbuka selama sejarah umat manusia berlanjut di muka Bumi.
Yikwanak Kole,
Pelaku Sejarah KRP II 2000
Pencetus Gagasan DeMMAK 1999 – 2000
Penulis Buku-Buku “Surat-Surat Terbuka Anak Koteka”
Saya harus menggunakan “Monggar” dan “Amonggar” karena saya tidak punya kata-kata dalam bahasa Melayu versi Indonesia nntuk mengungkapkan apa yang saya maksud. Saya mau katakan “roh”, tetapi tidak, karena yang saya maksud bukan roh. Saya mau katakan “nyawa”, tetapi juga bukan. Seharusnya saya katakan “jiwa”, tetapi apa bedanya dengan “nyawa”? Akhirnya saya gunakan ‘monggar’ dan ‘amonggar’ karena saya bisa rasakan secara alam kesadaran apa artinya kata-kata ini.
Pada saat saya berhabasa Melayu versi Indonesia, saya akan lebih condong berbicara ke arah logat-logal daerah tertentu. Saat saya mencoba Melayu-Malaysia, saya akan condong ke logat lain lagi. Pada saat saya berbahasa Melayu-Indonesia dengan orang Jawa, saya akan mengeluarkan “monggar” tidak sama dengan pada saat saya bicara dengan sesama orang Papua, dan berbeda juga dengan saat saya bicara dengan sesama suku/ bahasa ibu.
Lebih jauh lagi, pada saat saya berpikir dalam bahasa Melayu-Indonesia, tanpa sadar atau tidak, tanpa diakui atau tidak, terima atau tidak, saya sebenarnya berpikir menurut logika pemilik dan pengguna bahasa itu. Saya pikir saya sedang melakukan sesuatu untuk suatu hal, tetapi sebenarnya saya sedang bermain-main di dalam “monggar” Melayu-Indonesia. Sama halnya pula, saat saya berbicara dalam bahasa Inggris, pola pikir, alur cerita, cara saya memulai kalimat dan cara saya memilih kata juga berubah total. Apa lagi saat saya berbicara atau menulis dalam bahasa ibu saya, jelas-jelas saya akan menuturkan kalimat dan memilih kata-kata yang tidak sama dengan yang saya lakukan dalam bahasa Inggris atau Indo-Melayu.
Saya juga pernah bertemu dan bercakap dengan orang Malaysia. Saya paham apa yang dia maksud. Saya juga pernah bekomunikasi dengan beberapa orang imigrasi di Malaysia, saat saya dicegat seperti saya sudah kisahkan.
Yang saya mau katakan di sini, untuk “decolonize” pemikiran atau untuk merevolusi mentalitas kita, sebenarnya yang pertama-tama bahasa kita harus merubah bahasa kita dari bahasa kedua dan ketiga ke bahasa pertama. Alasannya mudah, karena di dalam bahasa ibu itulah “ninamonggar” terletak dan terlahir, dan kita akan kembali kepada “monggar’ itu setelah kita mati. Oleh karena itu expresikan-lah diri kita dengan “monggar” itu, supaya kita kelihatan asli, jujur, transparan, apa-adanya, yaitu fiolsofi hidup orang Koteka, di pulau New Guinea.
Saya tahu dan sengaja, saya tulis ini untuk dibaca oleh orang Koteka saja, sehingga saya menghindari mengartikan kata-kata bahasa Ibu saya. Wa, wa wa!