Peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, menjelaskan bahwa telah ditemukan bukti kehidupan manusia pertama Papua sekitar 50 ribu tahun lalu, berupa kapak batu. Bukti tersebut ditemukan di Situs Teluk Huon, Papua Nugini.
“Bukti arkeologi ini berupa kapak batu yang disebut dengan waisted atau kapak berpinggang. Manusia pertama di Papua ini dikenal dengan Austromelanesia, yang menjadi nenek moyang orang Papua, Papua Nugini dan Melanesia,” ujar Hari,
Nenek moyang pertama ini, menurut Hari, membawa pengetahuan berharga yaitu pembuatan api. Bisa dikatakan bahwa orang Austromelanesia ini yang pertama kali mengeksploitasi daerah Pulau Nugini. “Di Indonesia belum ditemukan, itu baru di Papua Nugini,” katanya.
Mereka adalah pemburu dan pengumpul makanan. “Fauna di Nugini sama sekali belum terbiasa ketika mereka harus berhadapan dengan manusia-manusia yang lapar. Karena itu, kepunahan marsupial berbadan besar yang merupakan fauna endemik Nugini karena ulah manusia,” kata Hari.
Arkeolog lulusan Udayana University, Bali itu menyatakan bahwa setelah punahnya mamalia berbadan besar, hewan buruan yang ada hanya terbatas pada hewan-hewan kecil seperti tikus tanah, kuskus, kanguri tanah dan kanguru pohon.
“Orang Austromelanesia ini dari Teluk Huon kemudian berpindah ke Situs Kuk di Lembah Waghi, dataran tinggi Papua Nugini dan mengembangkan pertanian keladi pada 8.000 tahun lalu,” tutur Hari. “Mereka juga bermigrasi ke Lembah Baliem Papua dan mengembangkan pertanian buah merah pada 7.000 tahun lalu, selain buah merah, tanaman labu air bahan koteka juga mulai dibudidayakan di Lembah Baliem.”
Ditambah dengan keberadaan kolam air asin di pegunungan tengah Papua, juga menjadi daya tarik penghuni awal Papua untuk menempati wilayah tersebut. Di beberapa lokasi terpisah di wilayah dataran tinggi bisa dijumpai kolam-kolam air asin.
Tentang “Papua”, “Bangsa Papua” dan “Tanah Papua”, kita berbicara hal yang sama, yaitu wilayah pulau New Guinea dan manusia yang mendiami tanah dimaksud.
Arti pertama ialah kata “Papua” ialah “Tanah Papua”, berarti pulau New Guinea, yang saat ini terbagi ke dalam negara Papua New Guinea dan wilayah pendudukan Indonesia bernama “West Papua”. Itu panggilan yang telah disepakati oleh orang pulau New Guinea yang ada di bagian barat pulau ini.
Arti kedua ialah “Papua” ialah “bangsa Papua”, berarti manusia yang mendiami Tanah Papua atau pulau New Guinea, yaitu manusia yang mendiami pulau New Guinea dari Sorong / Raja Ampat dibagian barat sampai Samarai di bagian Timur.
Nama Tanah Papua dari Waktu ke Waktu
1. Nama “Labadios”
Pada sekitar tahun 200 M , ahli Geography bernama Claudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios.
Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang China saat itu untuk Papua.
Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca :Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.
Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan juga Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.
Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.
Sementara dalam catatan sejarah Eropa pulau ini pertama-tama disebut dengan nama “Nova Guinea”.
7. Nama “Nederlandch Nieuw Guinea”
Kemudian disusul oleh penjajah Belanda yang memberi nama Nederlandch Niuew Guinea (The Netherlands New Guinea) atau New Guinea Barat sejak 1828.
Di tahun 1956, Belanda merubah nama dari New Guinea menjadi Nederland New Guinea. Perubahan nama kali ini bersifat politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada zaman itu. (Sumber: Suara Papua, “Papua Dari Nama ke Nama“, Oleh: Oktovianus Pogau)
8. Nama “Papua-Ua”
Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (not integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah.
Pada tahun 1940-an pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijakan untuk mendalami dan memberi nama wilayah dan bangsa jajahannya, dan sebagai hasilnya Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian.
Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, “an” artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, “Iri” artinya tanah, “an” artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa, sementara dalam bahasa Merauke, “Iri” artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, “an” artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi.
Kata “Irian” ini kemudian dijadikan sebuah akronim oleh NKRI, oleh jagoan akronim Indonesia bernama Sukarno. Banyak akronim buatan Sukarno dipakai di seluruh Indonesia saat ini. Dan setiap saat kita saksikan akronim selalu lahir di negara penjajah ini.
Irian yang tadinya mengandung arti bahasa daerah kini menjadi sebuah akronim: “I” iartinya “Ikut”; “R” artinya “Replubik”, “I” artinya “Indonesia, “A”, artinya “anti” dan terakhir “N” artinya “Nederland”. Momentum rekayasa nama dan drama pencabik-cabikan identitas bangsa Papua mencapai puncaknya.
10. Nama “West Irian” dan “West New Guinea”
Kemudian pada saat mentransfer kekuasaan dari kolonial Belanda kepada Indonesia, disebutkan bahwa wilayah ini disebut West New Guinea, yang menurut Belanda nasibnya akan ditentukan di kemudian hari, artinya pada waktu itu bukan bagian dari Indonesia.
Selanjutnya dalam negosiasi invasi oleh Indonesia nama pulau yang tadinya bernama West New Guinea kini disebut West Irian (Irian Barat).
11. Nama “Irian Jaya”
Setelah Irian Barat, maka Indonesia secara resmi menyebutnya Irian Jaya. Nama Irian Jaya berlaku selama lebih dari 30 tahun.
Tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya.
12. Nama “Papua”
Nama Irian Jaya dimaklumkan secara resmi menjadi Papua pada 1 Januari 2000, saat ini dilakukan oleh Presiden kolonial Indonesia K.H. A. Wahid di Jayapura.
Sejak itulah maka secara total nama “Irian Jaya” dimakamkan secara politik, walaupun harus menunggu pengesahan secara hukum oleh parlemen.
13. Nama “West Papua”
Adalah Dewan New Guinea atau Nieuw Guinea Raad yang memberi nama-nama berikut:
Nama bangsa: Papua
Nama negara: West Papua
Nama lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua
Nama Bendera: Bintang Kejora
Nama-nama yang secara hukum legal ini cukup menarik untuk disimak. Bangsa dan Tanah ini diberi nama “Papua”. Sementara negara disebut “West Papua”.
14. Nama “West Papua New Guinea”
Nama Replubik West Papua New Guinea sering digunakan oleh kelompok Michael Fernando Kareth yang memproklamirkan Negara Republic of West Papua New Guinea pada 27 November 1997 di Brussel, ibukota Belgia/ Uni Eropa. Nama lembaganya West Papua New Guinea Congress (WPNGC).
15. Nama “West Papua Melanesia”
Nama “West Papua Melanesia” sering digunakan oleh kelompok Papua Merdeka yang mendukung Proklamasi Negara Melanesia Barat yang diproklamirkan Dr Thomas Wapai Wainggai tanggal 14 Desember 1988, di lapangan Mandala, Jayapura.
16. Nama “Papua Barat” dan “Papua….lainnya”
Nama “Papua Barat” lebih cendering digunakan belakangan ini, generasi 2000-an sebagai bentuk identifikasi diri dalam menentang kolonialisme Indonesia. Organisasi seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat adalah contoh paling jelas dalam hal ini memanggil wilayah in “Papua Barat”, bahkan bangsa Papua juga sering mereka sebut “Bangsa Papua Barat”.
Sekarang setelah pemekaran Provinsi Papua, maka ibukota Provinsi Papua Barat ialah Manokwari dan ibukota Provinsi Papua ialah Jayapura.
Ditambah lagi sejak tahun 2023 dengan provinsi yang baru lagi, dengan nama-nama baru, yaitu Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Saireri, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Barat Daya, dan sebagainya.
Gambarlah Diri dalam Nama-Nama Ini
Sekarang kami ajak orang “yang ada di pulau New Guinea bagian barat” untuk menggambar dirinya sendir, mengidentifikasi diri: entah dengan menyamakan atau membedakan dirinya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kalau nama wilayahnya saja sudah berjumlah 20 nama, maka nama manusianya dipanggil siapa?
Kalau Anda sebagai orang yang tanah leluhurnya adalah di bagian barat pulau New Guinea, maka Anda menyebut diri siapa?
Dan tmpt pertahan Hidup, berkembang dan tempat tinggal selama 9 bulan di dlm perutmu ibu…
Hutan Budi yg paling terbesar di dunia ini..yg di miliki oleh setiap manusia, adalah hutan nyawa & hutan Budi terhadap ibunya Krn rasa sakit yg dirasakan sang ibu..
Dari Rimba New Guinea, Yikwanak Kole mau sampaikan “Salam Hormat!”, “Salam Jumpa kembali!” dan “Salam juang!”
Banyak hal telah terjadi dalam kehidupan ini, yang membawa saya kepada posisi hari ini, sebagai seorang manusia, yang pernah dilahirkan ke muka Bumi ini, oleh seorang ibu bermarga Yikwa. Bagi kita semua yang dilahirkan dari kandungan seorang perempuan Yikwa, tentunya kita memiliki satu aliran darah, darah seorang perempuan Yikwa, yang selalu mengalir dalam kehidupan kita masing-masing.
Memang benar, kita juga membawa darah dari ayah kita masing-masing, tentu saja dengan demikian kita memiliki banyak marga, seperti Kogoya, Karoba, Tabuni, Wanimbo, Walela, dan sebagainya, kita tetap satu dalam kandung, yaitu dari kandungan seorang perempuan Yikwa.
Dengan dasar pemikiran berdasarkan realitas hukum alam yang mutlak ini, saya sebagai salah satu anak dari perempuan Yikwa yang telah memilih untuk bertindak membela hak asasi bangsa Papua dengan resiko yang tinggi, saya mengundang Anda sekalian, semua anak-anak perempuan Yikwa, untuk bersatu dalam pikiran, perasaan, dan perjuangan, sama dengan satu dalam kandungan dan aliran darah tadi.
Mari kita bekerjasama dalam membela hak asasi bangsa kita, tanah leluhur kita, keturunan kita, keluarga kita, anak-cucu kita.
Saya, Yikwana Kole, sebagai salah satu anak dari perempuan Yikwa, telah menjalani kehidupan ini, telah mengalami manis dan pahit, telah melewati berbagai rintangan yang mudah dilalui maupun yang sangat menantang untuk dilalui.
Saya, Yikwanak Kole, salah seorang anak dari perempuan Yikwa, mengundang kita semua, semua orang-orang Yikwanak di mana-pun Anda berada, untuk sadar dan sadar, bahwa kehidupan ini hanyalah sementara, kehidupan ini tidak akan lama, sama seperti bungan yang hanya segar di pagi hari, setelah itu akan layu, dan keesokannya harinya telah lenyap.
Saya, Yikwanak Kole, salah seorang anak perempuan Yikwa, mengundang kita semua anak-anak perempuan Yikwa, untuk berpikir dan bertindak sama seperti ibunda kita, yaitu perempuan Yikwa, yang selalu berani, selalu lantang, dan selalu bertindak, tidak memikirkan resiko dari perbuatannya. Ia selalu bertindak, dan bertindak, dan bertindak! Kita dilahirkan sebagai orang-orang besar, orang-orang Yikwanak, karena ibu kita yang begitus keras dan tegas, dan berani.
Anak-anak mereka seharusnya berani, tegas dan bertindak sesuai hatinurani, membela kebenaran dengan resiko apapun.
Untuk berkomunikasi selanjutnya, silakan email: kole@yikwanak.com
Saya masih ingat waktu itu bulan Juni tahun 2000, baru saja setelah selesai menghadiri Kongres Rakyat Papua II, 2000 di GOR Jayapura yang diumumkan tanggal 4 Juni 2000.
Waktu itu ada tiga peristiwa yang harus saya laporkan kepada dunia agar mengetahuinya.
Pertama DULU Tahun 2020: masayarakat Koteka telah menggagalkan Pembentukan Pemerintahan Sementara yang digagas oleh Drs. Don Flassy, MA. Pada waktu itu kesempatan diberikan oleh Sekretaris PDP, Mohammad Al-Hamid bagi Tuan Don Flassy untuk menjelaskan tentang Pemerintahan Sementara West Papua. Akan tetapi unsur dari Masyarakat Koteka, dipimpin oleh Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menghentikan dengan mengancam akan membunuh beliau. (Bisa dicek kepada beliau, karena beliau masih hidup hari ini)
SEKARANG TAHUN 2020: orang-orang yang menggagalkan Pemerintahan Sementara West Papua tahun 2000 itulah yang sekarang menolak dan menentang pembentukan UUDS dan pengumuman pemerintahan Sementara West Papua tahun 2020.
Jadi saya pertanyakan, “Anda sebenarnya melayani kepentingan siapa?”
Kedua DULU TAHUN 2000: bahwa laporan dari hasil Kongres ini harus disampaikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam waktu dekat, karena pada tanggal 31 Desember 2000 nanti, pintu untuk siapa saja datang minta merdeka akan dihapus dari PBB. Akhirnya semua kekuatan didorong untuk memastikan agar kita tembus ke PBB sebelum tahun 2000 berakhir. Itu sebabnya pasukan Koteka berencana membuka perang terbuka di Patung Jos Sudarso Port Numbay. Warwawan BBC dan ABC telah hadir di Hotel Yasmin dan menghuni perang terbuka di depan mata dari hotel itu.
TERNYATA: Saya memberitahukan kepada tua-tua adat Koteka bahwa isu tanggal 1 Desember 2000 harus perang itu isu dari NKRI dan terbukti benar, NKRI mau memancing di air keruh demi memilah dan memilih dengan capat siapa-siapa yang harus ditangkap.
Ternyata tahun 2020, tepatnya tanggal 18 Desember lalu, PBB telah mensahkan satu resolusi untuk penentuan nasib sendiri bagi (a) Suatu Wilayah Non Pemerintahan Sendiri telah menjadi sebuah Negara merdeka berdaulat; (yaitu West Papua) (b) Menjadi sebuah Wilayah Otonom dari sebuah Negara merdeka; (yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat); atau (c) Berintegrasi ke dalam sebuah Negara merdeka”, (yaitu West Papua)
Jadi, tiga kriteria ini semuanya dipenuhi oleh wilayah West Papua.
Ketiga DULU TAUHN 2000: bahwa Presidium Dewan Papua (PDP) adalah satu-satunya alat politik Papua Merdka, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) harus dihapuskan dari Tanah Papua.
TERNYATA TAHUN 2020: bahwa PDP adalah organisasi buatan NKRI, didirikan untuk meledakkan dan kemudian menghabiskan energi tuntutan Papua Merdeka sehingga aspirasi Papua Merdeka hanya mati di meja Presiden Indonesia di Jakarta.
TERNYATA TAHUN 2020, Presiden West Papua hari ini ialah Sekretaris-Jenderal Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK), yang didirikan pada April 2000, sebulan sebelum pembentukan PDP, dan yang ditolak mentah-mentah oleh PDP untuk ikut dalam Kongres Rakyat Papua (KRP) II, 2000.
Terbukti dan ternyata bahwa PDP adalah bagian dari Skenario NKRI. DeMMAK adalah murni skenario orang Papua. Walaupun telah melakukan kesalahan pada point 1 di atas, ia menebus kesalahannya dengan meneruskan perjuangan ini sampai mencapai hasil-hasil yang begitu membanggakan.
Jadi, kalau ada orang Koteka, orang Papua yang menyangkal UUDS NRWP, maka mereka adalah kaki-tangan NKRI.
Yang tidak bisa dirubah hanyalah matahari terbit di barat dan terbenam di Timur. Pintu bagi bangsa manapun di dunia untuk merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara akan selalu terbuka selama sejarah umat manusia berlanjut di muka Bumi.
Yikwanak Kole, Pelaku Sejarah KRP II 2000 Pencetus Gagasan DeMMAK 1999 – 2000 Penulis Buku-Buku “Surat-Surat Terbuka Anak Koteka”
Saya harus menggunakan “Monggar” dan “Amonggar” karena saya tidak punya kata-kata dalam bahasa Melayu versi Indonesia nntuk mengungkapkan apa yang saya maksud. Saya mau katakan “roh”, tetapi tidak, karena yang saya maksud bukan roh. Saya mau katakan “nyawa”, tetapi juga bukan. Seharusnya saya katakan “jiwa”, tetapi apa bedanya dengan “nyawa”? Akhirnya saya gunakan ‘monggar’ dan ‘amonggar’ karena saya bisa rasakan secara alam kesadaran apa artinya kata-kata ini.
Pada saat saya berhabasa Melayu versi Indonesia, saya akan lebih condong berbicara ke arah logat-logal daerah tertentu. Saat saya mencoba Melayu-Malaysia, saya akan condong ke logat lain lagi. Pada saat saya berbahasa Melayu-Indonesia dengan orang Jawa, saya akan mengeluarkan “monggar” tidak sama dengan pada saat saya bicara dengan sesama orang Papua, dan berbeda juga dengan saat saya bicara dengan sesama suku/ bahasa ibu.
Lebih jauh lagi, pada saat saya berpikir dalam bahasa Melayu-Indonesia, tanpa sadar atau tidak, tanpa diakui atau tidak, terima atau tidak, saya sebenarnya berpikir menurut logika pemilik dan pengguna bahasa itu. Saya pikir saya sedang melakukan sesuatu untuk suatu hal, tetapi sebenarnya saya sedang bermain-main di dalam “monggar” Melayu-Indonesia. Sama halnya pula, saat saya berbicara dalam bahasa Inggris, pola pikir, alur cerita, cara saya memulai kalimat dan cara saya memilih kata juga berubah total. Apa lagi saat saya berbicara atau menulis dalam bahasa ibu saya, jelas-jelas saya akan menuturkan kalimat dan memilih kata-kata yang tidak sama dengan yang saya lakukan dalam bahasa Inggris atau Indo-Melayu.
Saya juga pernah bertemu dan bercakap dengan orang Malaysia. Saya paham apa yang dia maksud. Saya juga pernah bekomunikasi dengan beberapa orang imigrasi di Malaysia, saat saya dicegat seperti saya sudah kisahkan.
Yang saya mau katakan di sini, untuk “decolonize” pemikiran atau untuk merevolusi mentalitas kita, sebenarnya yang pertama-tama bahasa kita harus merubah bahasa kita dari bahasa kedua dan ketiga ke bahasa pertama. Alasannya mudah, karena di dalam bahasa ibu itulah “ninamonggar” terletak dan terlahir, dan kita akan kembali kepada “monggar’ itu setelah kita mati. Oleh karena itu expresikan-lah diri kita dengan “monggar” itu, supaya kita kelihatan asli, jujur, transparan, apa-adanya, yaitu fiolsofi hidup orang Koteka, di pulau New Guinea.
Saya tahu dan sengaja, saya tulis ini untuk dibaca oleh orang Koteka saja, sehingga saya menghindari mengartikan kata-kata bahasa Ibu saya. Wa, wa wa!