“Jumlah “orang-orang” “stress” dan “frustrasi” di Indonesia, khususnya di Papua, semakin meningkat. Hal tersebut, disebabkan oleh “politik” (gila uang, gila jabatan, gila status, dan bukan gila Kebenaran).
Menurut kamus umum bahasa Indonesia, “Politik” adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara; urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara atau terhadap negara lain; cara bertindak, taktik. Mencakup siasat berarti menyelidiki secara teliti atau secara cermat suatu tata negara. Melalui politik pula, satu negara bisa membangun bubungan yang sehat dengan negara-negara lain, untuk mecapai sesuatu yang ia inginkan bersama.
Walaupun kamus umum bahasa Indonesia merumuskan sedemikian rupa, pada hakekatnya, politik adalah sebuah permainan untuk mendapat sesuatu yang ia inginkan atau harapkan dalam suatu negara, seperti; cara menguasai perdagangan, cara mendapatkan uang dan cara merebut Jabatan pemerintahan (DPR, MPR, Bupati, Gubernur dan Presiden) dan lain-lain. Dalam permainan politik, tidak harus semua menang dan juga tidak harus semua kalah. Maka, kalah atau menang adalah hal yang wajar dalam sebuah permainan. Tetapi yang pasti satu orang akan menang bersama tim suksesnya. Dan setelah masa permainan politik berakhir dan seorang menang dalam politik, misalnya menjadi DPR, bupati, gubernur atau presiden, lawan politik bukanlah musuh lagi, melainkan rekan kerja untuk menyelidiki secara teliti, tata negara secara bersama-sama. Dalam hal ini, bukan hanya berpolitik untuk merebut jabatan atau dalam hal-hal yang besar, melainkan seorang anak dalam keluarga mau meminta uang lima ribuh atau sepuluh ribuh rupiah kepada orang tuanya pun, politik masih berlaku. Dan hal ini, bukanlah sebuah kejahatan.
Celakalah manusia, jika di dalam sebuah pertandingan sepak bola atau pertandingan lain, berlaga seolah-olah menjadi “musuh”, tetapi permusuhan dalam lapangan pertandingan itu, masih dibawa ke luar lapangan. Dan musuh di lapangan menjadi musuh pribadi, musuh keluarga bahkan menjadi musuh seumur hidup dan ketika meninggal, mayatpun tidak pergi tengok. Padahal awalnya mereka adalah satu keluarga, satu suku atau satu bangsa.
Permainan model apakah ini? Permainan atau pertandingan berarti saat berlaga, seolah-olah menjadi “musuh” dan setelah pertandingan berakhir, kembali menjadi saudara atau sahabat untuk menempuh hidup bersama. “Musuh lapangan pertandingan” bukan berarti juga musuh di luar, musuh pribadi, musuh keluarga, musuh seumur hidup, bahkan musuh keturunan. Jika hal ini yang terjadi, maka ini bukanlah pertandingan atau permainan lagi, melainkan pembunuhan karakter dan mental seseorang maupun masyarakat pada umumnya. Ulah satu-dua orang, seluruh masyarakat menjadi korban.
Arah permainan politik di tanah Papua saat ini, sama seperti ibarat pertandingan tersebut di atas. Jika lawan politik menjadi musuh individu masih bisa diperbaiki secara empat mata ketika situasi mendukung. Tetapi anehnya permusuhan antar satu politikus, menjadi permusuhan keluarga, permusuhan marga, permusuhan suku, masyarakat umum bahkan permusuhan keturunan. Contoh kecil, seorang anak sekolah, pergi meminta bantuan kepada salah satu kepala daerah terpilih (bupati atau DPR) tetapi orang tersebut menjawab “Orangtuamu adalah lawan politik atau pendukung lawan politikku! Apakah kamu pernah kasih suara ke saya?”. Dia tidak sadar kalau itu politik. Apakah situasi tersebut, juga dialami oleh negara-negara lain, ataukah hanya berlaku di negara Indonesia dan secara khusus di Papua? Siapakah yang menciptakan situasi ini? Dalam hal ini, jika salah satu kandidat kalah dalam berpolitik, dia tidak merasa itu, hal yang biasa dalam suatu permainan, melainkan malah dia harus mekarkan kabupaten atau provinsi baru lagi, tanpa prosedur yang jelas. Jika demikian, Papua mau digulingkan ke arah mana? Kalau tidak mampu untuk mengatasi stress dan frustrasi, kenapa harus mencalonkan diri sebagai kandidat? Siapa suruh berpolitik (gila uang dan gila merebut jabatan)?
Penyakit HIV/AIDS yang kita takutkan saat ini, bukanlah penyakit yang ganas, tetapi penyakit yang lebih menakutkan lagi adalah Permainan Politik, merebut jabatan di Tanah Papua saat ini. Jumlah para kandidat yang sudah frustrasi dan stress sudah meningkat. Sebab dilihat dari rencana yang hangat saat ini, 23 pemekaran kabupaten baru, khususnya di Papua. Padahal mereka tidak sadar kalau pembangunan di kabupaten-kabupaten baru yang sudah dimekarkan terlebih dahulu, masih tidak bisa membedakan “mana kaki dan mana kepala”. Hal ini ibarat seorang pria yang nafsu kawin, sehingga sebelum istri menyusui satu bayi, bayi yang lain juga muncul. Maka anda yang mau mekarkan kabupaten baru di mana-mana, di tanah Papua ini, harus menyadari akan hal tersebut.
Ratusan sampai ribuahan jiwa manusia Papua, yang mestinya mati demi kebenaran, sudah ditelang habis oleh permainan perampasan jabatan di tanah Papua dan demi kepentingan orang-orang tertentu. Kita harus hormat, jika manusia Papua berjatuhan demi membelah KEBENARAN. Tetapi permainannya antara para pejabat tetapi yang menjadi korban adalah masyarakat kecil. Misalnya di Kabupaten Mimika pada tahun 2002-2003 lalu, terjadi perang yang menggerikan, masalah pemilihan bupati kabupaten Mimika. Perang ini terjadi antara pendukung kedua belah pihak, dan salah satu di antara kandidat mengatakan, “Saya mampu bayar ratusan kepala yang sudah terbunuh, jadi perang sudah!”. Di kabupaten Nduga, terjadi perang yang besar dan banyak korban berjatuhan, pada tahun 2012 lalu, kabupaten Intan Jaya hampir terjadi perang dan permusuhan antara kandidat-kandidat, masih berkelanjutan dan pembangunan kabupaten masih macet hingga saat ini, sehingga masyarakat Migani menjadi dua kabupaten (Intan Jaya dan Delama). Dan masih ada banyak tempat yang tidak dapat dituliskan masing-masing. Papua mau digulingkan ke mana?
Jadi, ingatlah bahwa penyakit yang paling ganas dan yang mematikan zaman ini adalah bukan lagi HIV/AIDS, melainkan “Politik” (haus uang dan haus jabatan). Dengan demikian, jika anda yang mau “berpolitik”, kenalilah dirimu sendiri secara mendalam dan berpolitiklah! Karena jangan sampai matamu berubah, sehingga istri dan anakmu pun menjadi musuh di matamu, apalagi orang lain. Jika anda mau berpolitik, selidikilah eksistensi politik secara baik dan benar, seperti yang dirumuskan dalam kamus umum bahasa Indonesia, dan bermainlah sesuai dengan jalur dan pada tempatnya. Jangan membawa “musuh” di lapangan ke rumah dan musuh di rumah bawa ke lapangan. Semoga dengan ini, kita yang masih belum sadar, semakin sadar dan berubah untuk membangun Papua dengan cara lain, dan bukan dengan cara merampas jabatan sana-sini, sehingga adakan puluhan pemekaran kabupaten baru di mana-mana, di tanah Papua.
*)Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur”Abepura-Jayapura, Papua
Luarbiasa, kalau banyak orang Papua berpikir seperti penulis ini, saya yakin Papua cepat Merdeka! Tetapi faktanya tidak demikian. Dan terpaksa kita dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan fakta. Dengan fakta itulah, papuapost.com berkeyakinan dengan pasti bahwa Kenenaran selalu dan pasti menang! Merdeka Harga MatI!