“Waktu” dan “Ruang” adalah ciptaan Manusia modern! Pikirkan utk Hidup di luar mereka!

“Waktu” dan “Ruang” adalah ciptaan Manusia, khususnya manusia modern. Waktu dan ruang diciptakan beberapa ratus tahun lalu, pasti “dalam rangka sesuatu”, yaitu proses modernisasi.

Karena itu, untuk kembali kepada jatidiri non-modern, atau Masyarakat Adat, pertama-tama kita harus keluar dari mindset “waktu” dan “ruang”.

Saya teringat kata-kata yang biasa kita gunakan di pedalaman Tanah Papua, baik di West Papua maupun di Papua New Guinea saat ada orang mengenakan jam tangan. Biasanya kita bilang, “Jangan pakai jam, nanti kita dikejar waktu“. Ada juga bilang, “Jam pekagak ndakakugwarak?” (Apakah orang tua pakai jam untuk melahirkanmu?)

Kita tidak sadar, bahwa kalimat-kalimat ini keluar secara alamiah, dari alam bawah sadar Masyarakat Adat (madat) menanggapi proses modernisasi yang sedang terjadi. Alam bawah sadar kita sebenarnya mengatkan bahwa “waktu” dan “ruang” tidak boleh hadir dalam hidup ini, karena itu yang menyebabkan masalah buat tubuh kita, yaitu tubuh alamiah ini.

Tadi modernisasi dan waktu adalah fokus pertama. Yang kedua, dari sisi cosmos. Waktu dan ruang hanya berguna untuk tubuh-jasmani ini. Tubuh ini pertama-tama butuh tempat,  atau wadah untuk ber-ada dan ber-ekspresi. Hanya sampai ruang saja sudah cukup. Tetapi manusia-lah yang menciptakan “waktu”.

Tadinya waktu yang ada di Tanah Papua ialah “Pagi, Siang, Sore, dan Malam”, itu waktu Melanesia (Melanesian Time). Sekarang waktu modern ialah 12:00 AM (atau 00:00); 12:00PM; 18:00 (atau 06:00PM).

Sekarang ada Selamat Pagi, Selamat Siang, Selamat Sore, Selamat Petang, Selamat Malam. Dalam Madat Papua hanya ada “Wa!” itu saja. Tidak ada keterangan pagi, malam, siang.

Itu baru hitungan jam, kita belum bicara hari, minggu, bulan, tahun, abad. Maka kita tahu ada ajaran-ajaran modern tentang waktu dan tempat, tentang agama dan politik, tentang filsafat dan sains. Semua ini dikemas di dalam waktu dan tempat. Ini semua wajah modernisasi, atau masyarakat modern.

Kalau ada MADAT Papua, terutama saya, yang sudah mulai gelisah karena waktu dan tempat, karena terlambat, karena lambat dari jam makan, lambat dari jam kerja, dan sebagainya, maka sadarilah, tubuh alamiah Anda sebenarnya menolak “waktu” itu, tetapi Anda memaksakan mematuhi “waktu” karena Anda sedang dalam proses me-modern-kan alam sadar Anda.

Saat ini semua orang Papua mengirim pesan-pesan Natal dan Pesan Tahun Baru! Ini menarik, karena ini berkaitan langsung dengan “Waktu” dan “Ruang”, waktu 25 Desember dan tempat di Kandang Bethlehem, di Jerusalem yang saat ini menjadi isu kontroversial karena Donald Trump mengatakan Ibukota Israel berdasarkan Alkitab ialah Jerusalem, bukan di Tel-Aviv.

MADAT Papua yang mau merayakan dan menyampaikan Salam Natal sebenarnya dapat melakukannya kapan saja, di mana saja. Tidak harus membuat Ilustrasi salju, Father Christmas dan Bethlehem. Tidak harus tanggal 20 – 30 Desember setiap tahun. Tetapi setiap saat, dan di semua tempat.

Natal bukan sebuah ritual Winter Solstice, yaitu “waktu” pemujaan dewa yang di-Kristen-kan dalam budaya suku-suku di Eropa, yang jatuh tepat waktu bulan desember tanggal 21, yang dalam agama Kristen dijadikan tanggal 25 desember.

Natal haruslah menjadi pengalaman sehari-hari. Setiap hari raja damai haruslah hadir dalam nafas hidup kita dan dirayakan dalam keseharian kita.

Pertama-tama kita hidup berdamai dengan diri kita sendiri, kemudian kedua dengan sanak-keluarga, lalu ketiga tetangga makhluk manusia, semarga, sesuku, sebangsa, keempat dengan sesama makhluk non-manusia dan segala yang ada di sekitar kita, di dunia kita. Kita seharusnya memberi salam kepada mereka semua, lintas batas waktu dan ruang, lintas makhluk dan kaum.

Kalau ada orang Papua yang mengucapkan Salam Natal kepada keluarga-nya tetapi membenci orang Jawa yang Islam, misalnya, maka sesungguhnya Raja Damai itu tidka pernah ada dalam hidup-mu, dan Anda harus bertobat. Kalau ada orang Papua hanya mengucapkan Salam Natal di Bulan Desember saja, maka kita harus di-baptis kembali.

Lalu hal ketiga ialah persoalan tempat: di mana Orang Kristen merayakan Natal itu? Di Bethlehem? Di Yerusalem? Di Kandang yang hina? Di Gereja? Ahhh, ketahuan, kita membatasi perayaan natal ke dalam scope ruang/ tempat buatan manusia modern.

Tidak banyak orang Kristen bertanya kepada Yesus,

“Di mana Kau sebenarnya bertahun-tahun lama-nya tidak pernah hadir di Synagoge, dan biasa Kau datang tiba-tiba dan khotbah, lalu segera Kau tinggalkan Synagoge?”

Tuhan Yesus tolong saya, Roh saya katakan, Yesus akan jawab ini.

Saya tidak terbatas oleh waktu dan tempat sobat, jadi jangan batasi saya dengan Synagoge, Gereja, Katedral. Ini semua buatan tangan manusia, bukan ciptaan Tuhan. Yang diciptakan Tuhan ialah langit, bumi, air, tumbuhan, hewan, Danau, Gunung, Pohon. Karena itu ada telah dikatakan alam semesta menyatakan kemuliaan Allah. Itu sudah cukup! Kau tidak usah pusing-pusing cari muka bikin diri inti merayakan ini dan itu di dalam gedung-gedung buatanmu sendiri.

Sobat, kebanyakan waktu saya habiskan di alam semesta buatan Tuhan. Saya masuk ke Synagoge hanya dalam rangka menegur orang Farisi dan Saduki, ahli-ahli taurat dan penguasa, bukan untuk merayakan natal.

Lalu saya pikir begini, “Kalau ceritanya begini, MADAT Papua seharusnya memuji-memuliakan Tuhan di kampung, hutan rimba New Guinea, di Danau dan Lautan Pasifik yang jelas-jelas memancarkan kemuliaan Tuhan, daripada masuk ke dalam gereja yang dibangun dengan uang-uang kotor hasil korupsi para politisi Papua dan non-Papua, yang tujuannya jelas-jelas bukan untuk  memuliakan Nama Tuhan.

Jadi, MADAT Papua seharusnya merayakan natal DI LUAR dari “Waktu” dan “Tempat” yang diciptakan masyarakat modern, sehingga Tuhan benar-benar menjadi Sahabat Sejati dalam hidup kita, bukan sekedar Tuhan yang kita datangi saat-saat ada perayaan di geraja, saat-saat ada kesulitan dalam hidup saja.

Apa lagi?

Melepas tahun 2017, sudah banyak orang Papua sibuk membahasnya, menulis status, menyatakan sikap, misalnya mau berhenti merokok, berhenti mabuk-mabukan, fokus kuliah, dan sebagainya. “Waktu” menjadi fokus di sini.

Padahal, kalau Anda “KELUAR” dari “waktu” tahun 2017, 2018, 2019 dan seterusnya, maka Anda dapat berubah kapan saja, hari apa saja, di mana saja, tanpa harus menunggu tahun 2017 berakhir menurut waktu masyarakat modern.

Hello world! This is my World

Welcome to Yikwanak.com Sites. This is the first post at Yikwanak Kole Blog, and I hope to see many  things coming from this particular blog in order to help all of us become more advanced not only in modernisation process but particularly in rooting back to our own roots and ancestors.

I believe in modern building construction theory that simply says, “the more you dig into the ground, the more you can build up over the ground” If I apply this principles in our personal development, then I clearly see how important it is for each of us to be rooted into our self in order to grow bigger and higher, wider and deeper.

I have two roots as far as I can tell and I know well. The first one is my ancestral root, related to my clan and my tribe, my land and my society. This is the primary and  most important one. Then the secondary and complementary one is my root into myself, how deep I contemplate, mediate, learn and apply what I learn in my life.

 

Banyak Insan Manusia Tersiksa, bahkan Bunuh Diri Karena Salah Pikir Cinta HANYA Didapatkan karena Diberikan Orang Lain….

Inilah riwayat hidup manusia. Tragis memang! Sudah banyak menjadi korban! Walaupun begitu manusia yang katanya sebagai makhluk paling sempurna menurut agama modern itu tidak mengenal apa yang disebut dengan cinta.Manusia selama ini selalu menyangka bahwa cinta itu hanya didapatkan karena diberikan oleh orang lain. Banyak syair, banyak puisi, banyak lagu, banyak cerita dalam bentuk novel, fiksi dan non-fiksi diceritakan tentang “cinta”, “jatuh cinta”, “putus cinta”, “cinta buta”, “cinta mati”, dan sebagainya.Dalam semua cerita itu, manusia mengajarkan kepada dirinya bahwa “cinta itu hanya didapatkan dari orang lain”, kalau tidak ada orang lain, kalau tidak diberikan orang lain, maka hidup ini menjadi tak ada artinya, dan karena itu lebih baik mati saja daripada hidup tanpa cinta.Seperti saya katakan dalam catatan sebelumnya, cinta itu bukan obyek, tidak terpisah dari diri kita. Cinta itu melekat pada kita, cinta itu kehidupan itu sendiri. Kalau ada kehidupan, maka itu adalah cinta, kalau ada manusia, maka di situ ada cinta, tidak harus diberikan, dan karena itu tidak perlu dicari.Pertanyaannya,

  • Ada di mana cinta itu?
  • Kalau cinta itu adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan yang mana maksudnya?
  • Kalau maksudnya kehidupan yang saya hidupi ini, maka di mana persisnya?

Menurut Universal Healing Tao System (UHTS) cinta itu ada dalam emosi-emosi kita: mulai dari takut, sedih, marah, gelisah, curiga, lalu ke tenang, gembira, kasih-sayang, percaya/ yakin. Caranya kita harus tahu kunci untuk bertemu dengan semua emosi ini. Dalam UHTS dikenal ada emosi negatif, dan ada emosi positif. Negatif dan positif tidak berarti baik dan tidak baik, tetapi itu berarti keseimbangan, antara lelaki-perempuan, siang-malam, kiri-kanan, negatif-positif. Maka untuk menikmati hidup ini, menurut UHTS, kita harus belajar cara-cara untuk mencari keseimbangan-keseimbangan emosi, karena dengan emosi yang seimbang, kita menjadi manusia yang sehat rohani – jasmani, menta-spiritual.Dengan cara mengolah emosi-emosi kita inilah, kita akan menemukan cinta yang sejati, yaitu unsur ilahi, sebagai potensi dan kapasitas ilahi universal yang dimiliki sejak lahir sampai selama-lamanya, dan dapat kita “tap” ke dalamnya dan menikmatinya selama roh kita bermukim dalam tubuh kita, untuk mengolahnya dan membudi-dayakannya menjadi modal hidup kita hari ini dan hari-hari tak terhitung setelah kita meninggalkan tubuh fana ini.Untuk itulah kita dalam agama modern diajarkan untuk selalu berdoa, selau merenungkan Kitab Suci, selalu tunduk dan taat kepada ajaran agama. Tujuannya untuk menjaga agar cinta sebagai unsur ilahi itu tidak ternodai, tidak tercemar, tidak terdegradasi, tetapi menjadi dibudi-dayakan, dikembang-biakkan, dan berbuah banyak, karena dia menjadi modal penting untuk hidup kita setelah kita meninggalkan tubuh yang fana ini.Cara pertama dan paling mudah yang sering saya lakukan secara sederhana ialah

  1. Tutup mata
  2. Meletakkan kedua tangan saya di dada saya
  3. Senyum kepada kedua tangan, dan kedua bilah paru-paru dan kepada jantung di tengah
  4. Bicara kepada jantung, “Halo, apakabar…. (sebut nama Anda)… dan katakan kepada-nya, I love you, You are loved, I am love!
  5. Hormati, salut, dan bila perlu bersyukur kepada Tuhan karena ini modal pemberian Tuhan.
  6. Jangan lupa, hati adalah alat untuk berkomunikasi dengan Tuhan lewat kepala, ada corong terpasang secara alamiah dari jantung ke Tuhan lewat kepala (Cakra di kepala).

Catatan: Pada saat meletakkan tangan di dada, jangan menyentuh tangan ke dada, tetapi hanya dengan jarak beberapa centimeter. Anda akan merasakan secara energi bahwa tangan yang tidak menyentuh dada secara fisik itu ternyata secara energi mereka sudah terhubung. Anda akan merasakannya, karena itu realitas alamiah.

Sumber: Facebook.com

 ‡ arti cinta, bunuh diri, depresi, sumber cinta Length: [762] words.

Situs Anaknya Perempuan Yikwa