Tag Archives: ruang

Kalender sebagai Cara Manusia Memahami dan Memanfaatkan Waktu

Setiap saat ada peringatan-peringatan dirayakan umat manusia di seluruh dunia, dalam berbagai budaya yang menciptakan waktu (kalender).

Menurut catatan “Ancient Near East, kalender Egyptian dan Sumerian merupakan yang tertua, disusul dengan Babylonian calendar,  Zoroastrian calendar dan juga Hebrew calendar. Kalender yang kita gunakan sebagai kalender umum atau kalender barat atau kalender Masehi ialah  Gregorian calendar, yang diperkenalkan pada tahun 1582

Siklus waktu dapat disinkronisasi dengan fenomena periodik:

Kalender-kalender ini disusun didasarkan atas budaya manusia yang memahami pergerakan dan fenomena alamiah yang terjadi menurut budaya masing-masing kelompok manusia.

“Waktu” dipatok dengan tujuan, baik tujuan yang diakui maupun tujuan yang tidak diakui, bahkan tujuan yang tidak disadari. Waktu sebagai bagian dari budaya manusia. Sebelumnya saat budaya manusia belum kompleks manusia tidak mengenal waktu. Waktu yang dikenal pada umumnya sama dengan yang ada dalam budaya Melanesia saat ini, yaitu waktu pagi, siang, sore dan waktu malam, tidak ada tanggal, tidak ada minggu, bulan, tahun semuanya tidak ada. Begitu budaya manusia menjadi semakin kompleks, tatanan sosial menjadi semakin rumit, manusia mulai berinteraksi dalam kelompok yang lebih besar, maka muncul kebutuhan untuk mengelola diri manusia sebagai kelompok.

Bersamaan dengan itu terjadi konsentrasi kegiatan, konsentrasi kekuasaan dan konsentrasi kepemimpinan dalam pemerintahan. Ada sejumlah orang mengkhususkan diri untuk mengelola pikiran dan energi untuk menguasai, menyisahkan yang lain sebagai yang dikuasai. Lama-kelamaan tenaga, kekuatan dan kebutuhan masyarakat umum harus dikelola, yaitu dikelola untuk mendatangkan keuntungan bagi para penguasa, pengendali pikiran dan kehidupan sosial-politik.

Kehidupan menjadi semakin kompleks, dan butuh alat untuk mengendalikannya. Maka proses pe-waktu-an muncul terutama untuk mengendalikan pemanfaatan “sumberdaya” manusia dalam mengelola “sumberdaya” alam. Alam dan manusia menjadi “sumberdaya”.Bahkan waktu ikut menjadi “sumberdaya” untuk dimanfaatkan. Bahkan sampai ada ungkapan “Waktu adalah uang” telah merajai pikiran dan perbuatan manusia sampai hari ini. Tidak ada seorangpun yang membayangkan kapan kerajaan “duit” akan runtuh dalam sejarah kehidupan manusia.

Melanesia dan Waktu

Manusia dunia barat ialah manusia yang telah diperbudak dan budak abadi dari si “waktu”. Mereka selalu dikejar oleh waktu dan juga selalu mengejar waktu. Di sebagian besar Asia, waktu adalah karet, bisa dirarik, bisa diputar, bisa dilupakan. Di Melanesia waktu berhenti total, karena konsep dan realitas waktu di Melanesia kembali kepada konsep awal, “no time zone”, dari sisi jam, hari, minggu, bulan, tanggal, tahun. Yang ada hanya pagi, siang, sore, dan malam.

Itulah sebabnya pada hari ini sudah umum dikenal beberapa istilah berkaitan dengan waktu

  1. Waktu internasional artinya waktu yang berlaku di seluruh budaya modern
  2. Waktu karet, yaitu waktu yang dimanfaatkan di sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika
  3. Waktu Melanesia, yaitu ketika waktu berhenti total.

Sekarang pilihan kita untuk merenungkan dan memutuskan, waktu mana yang cocok dan bermanfaat untuk kita. Saya harap tidak ada dari kita yang mengatakan konsep “waktu” ini yang lebih baik daripada konsep “waktu” itu. Saya harap kita menerima semua konsep tentang waktu sesuai dengan konteks sosial-budaya dan geografis di mana kami berada.

Dalam konteks ini, kita perlu berpikir kembali apa artinya “perayaan”, “ulang tahun”, “peringatan”,  dan “pekerjaan” yang dikaitkan dengan waktu. HUT kelahiran, HUT pernikahan, HUT kemerdekaan, jam kerja dan waktu libur, dan sebagainya perlu dipikir ulang menurut konsep waktu tadi.

Detik, Menit, Jam, Hari, Minggu, Bulan, Tahun, TIDAK PERNAH menjadi BARU!

Sejak pemikiran manusia “tercerahkan” di era Pencerahan, manusia mulai berpikir segala-sesuatu sebagai sebuah pergerakan dari satu titik ke titik lain, secara linear. Dari pemikiran inilah, maka muncul pandangan bahwa waktu ini bergerak dari satu titik ke titik lain, secara linear. Kita kenal teori Newtonian yang linear. Kita

“Waktu” dan “Ruang” adalah ciptaan Manusia modern! Pikirkan utk Hidup di luar mereka!

“Waktu” dan “Ruang” adalah ciptaan Manusia, khususnya manusia modern. Waktu dan ruang diciptakan beberapa ratus tahun lalu, pasti “dalam rangka sesuatu”, yaitu proses modernisasi.

Karena itu, untuk kembali kepada jatidiri non-modern, atau Masyarakat Adat, pertama-tama kita harus keluar dari mindset “waktu” dan “ruang”.

Saya teringat kata-kata yang biasa kita gunakan di pedalaman Tanah Papua, baik di West Papua maupun di Papua New Guinea saat ada orang mengenakan jam tangan. Biasanya kita bilang, “Jangan pakai jam, nanti kita dikejar waktu“. Ada juga bilang, “Jam pekagak ndakakugwarak?” (Apakah orang tua pakai jam untuk melahirkanmu?)

Kita tidak sadar, bahwa kalimat-kalimat ini keluar secara alamiah, dari alam bawah sadar Masyarakat Adat (madat) menanggapi proses modernisasi yang sedang terjadi. Alam bawah sadar kita sebenarnya mengatkan bahwa “waktu” dan “ruang” tidak boleh hadir dalam hidup ini, karena itu yang menyebabkan masalah buat tubuh kita, yaitu tubuh alamiah ini.

Tadi modernisasi dan waktu adalah fokus pertama. Yang kedua, dari sisi cosmos. Waktu dan ruang hanya berguna untuk tubuh-jasmani ini. Tubuh ini pertama-tama butuh tempat,  atau wadah untuk ber-ada dan ber-ekspresi. Hanya sampai ruang saja sudah cukup. Tetapi manusia-lah yang menciptakan “waktu”.

Tadinya waktu yang ada di Tanah Papua ialah “Pagi, Siang, Sore, dan Malam”, itu waktu Melanesia (Melanesian Time). Sekarang waktu modern ialah 12:00 AM (atau 00:00); 12:00PM; 18:00 (atau 06:00PM).

Sekarang ada Selamat Pagi, Selamat Siang, Selamat Sore, Selamat Petang, Selamat Malam. Dalam Madat Papua hanya ada “Wa!” itu saja. Tidak ada keterangan pagi, malam, siang.

Itu baru hitungan jam, kita belum bicara hari, minggu, bulan, tahun, abad. Maka kita tahu ada ajaran-ajaran modern tentang waktu dan tempat, tentang agama dan politik, tentang filsafat dan sains. Semua ini dikemas di dalam waktu dan tempat. Ini semua wajah modernisasi, atau masyarakat modern.

Kalau ada MADAT Papua, terutama saya, yang sudah mulai gelisah karena waktu dan tempat, karena terlambat, karena lambat dari jam makan, lambat dari jam kerja, dan sebagainya, maka sadarilah, tubuh alamiah Anda sebenarnya menolak “waktu” itu, tetapi Anda memaksakan mematuhi “waktu” karena Anda sedang dalam proses me-modern-kan alam sadar Anda.

Saat ini semua orang Papua mengirim pesan-pesan Natal dan Pesan Tahun Baru! Ini menarik, karena ini berkaitan langsung dengan “Waktu” dan “Ruang”, waktu 25 Desember dan tempat di Kandang Bethlehem, di Jerusalem yang saat ini menjadi isu kontroversial karena Donald Trump mengatakan Ibukota Israel berdasarkan Alkitab ialah Jerusalem, bukan di Tel-Aviv.

MADAT Papua yang mau merayakan dan menyampaikan Salam Natal sebenarnya dapat melakukannya kapan saja, di mana saja. Tidak harus membuat Ilustrasi salju, Father Christmas dan Bethlehem. Tidak harus tanggal 20 – 30 Desember setiap tahun. Tetapi setiap saat, dan di semua tempat.

Natal bukan sebuah ritual Winter Solstice, yaitu “waktu” pemujaan dewa yang di-Kristen-kan dalam budaya suku-suku di Eropa, yang jatuh tepat waktu bulan desember tanggal 21, yang dalam agama Kristen dijadikan tanggal 25 desember.

Natal haruslah menjadi pengalaman sehari-hari. Setiap hari raja damai haruslah hadir dalam nafas hidup kita dan dirayakan dalam keseharian kita.

Pertama-tama kita hidup berdamai dengan diri kita sendiri, kemudian kedua dengan sanak-keluarga, lalu ketiga tetangga makhluk manusia, semarga, sesuku, sebangsa, keempat dengan sesama makhluk non-manusia dan segala yang ada di sekitar kita, di dunia kita. Kita seharusnya memberi salam kepada mereka semua, lintas batas waktu dan ruang, lintas makhluk dan kaum.

Kalau ada orang Papua yang mengucapkan Salam Natal kepada keluarga-nya tetapi membenci orang Jawa yang Islam, misalnya, maka sesungguhnya Raja Damai itu tidka pernah ada dalam hidup-mu, dan Anda harus bertobat. Kalau ada orang Papua hanya mengucapkan Salam Natal di Bulan Desember saja, maka kita harus di-baptis kembali.

Lalu hal ketiga ialah persoalan tempat: di mana Orang Kristen merayakan Natal itu? Di Bethlehem? Di Yerusalem? Di Kandang yang hina? Di Gereja? Ahhh, ketahuan, kita membatasi perayaan natal ke dalam scope ruang/ tempat buatan manusia modern.

Tidak banyak orang Kristen bertanya kepada Yesus,

“Di mana Kau sebenarnya bertahun-tahun lama-nya tidak pernah hadir di Synagoge, dan biasa Kau datang tiba-tiba dan khotbah, lalu segera Kau tinggalkan Synagoge?”

Tuhan Yesus tolong saya, Roh saya katakan, Yesus akan jawab ini.

Saya tidak terbatas oleh waktu dan tempat sobat, jadi jangan batasi saya dengan Synagoge, Gereja, Katedral. Ini semua buatan tangan manusia, bukan ciptaan Tuhan. Yang diciptakan Tuhan ialah langit, bumi, air, tumbuhan, hewan, Danau, Gunung, Pohon. Karena itu ada telah dikatakan alam semesta menyatakan kemuliaan Allah. Itu sudah cukup! Kau tidak usah pusing-pusing cari muka bikin diri inti merayakan ini dan itu di dalam gedung-gedung buatanmu sendiri.

Sobat, kebanyakan waktu saya habiskan di alam semesta buatan Tuhan. Saya masuk ke Synagoge hanya dalam rangka menegur orang Farisi dan Saduki, ahli-ahli taurat dan penguasa, bukan untuk merayakan natal.

Lalu saya pikir begini, “Kalau ceritanya begini, MADAT Papua seharusnya memuji-memuliakan Tuhan di kampung, hutan rimba New Guinea, di Danau dan Lautan Pasifik yang jelas-jelas memancarkan kemuliaan Tuhan, daripada masuk ke dalam gereja yang dibangun dengan uang-uang kotor hasil korupsi para politisi Papua dan non-Papua, yang tujuannya jelas-jelas bukan untuk  memuliakan Nama Tuhan.

Jadi, MADAT Papua seharusnya merayakan natal DI LUAR dari “Waktu” dan “Tempat” yang diciptakan masyarakat modern, sehingga Tuhan benar-benar menjadi Sahabat Sejati dalam hidup kita, bukan sekedar Tuhan yang kita datangi saat-saat ada perayaan di geraja, saat-saat ada kesulitan dalam hidup saja.

Apa lagi?

Melepas tahun 2017, sudah banyak orang Papua sibuk membahasnya, menulis status, menyatakan sikap, misalnya mau berhenti merokok, berhenti mabuk-mabukan, fokus kuliah, dan sebagainya. “Waktu” menjadi fokus di sini.

Padahal, kalau Anda “KELUAR” dari “waktu” tahun 2017, 2018, 2019 dan seterusnya, maka Anda dapat berubah kapan saja, hari apa saja, di mana saja, tanpa harus menunggu tahun 2017 berakhir menurut waktu masyarakat modern.

 ‡ Gereja, , Katedral, MADAT, Malam, Natal, Pagi, ruang, Siang, Sore, Synagoge,  Length: [915] words., and modified on: January 7th, 2022.

Metafisika Misteri Ruang dan Waktu

TEORI Albert Einstein, mengatakan bahwa dalam perhitungan-perhitungan ilmiah, manusia tidak hanya berurusan dengan tinggi, lebar dan panjang; melainkan juga dengan satu dimensi lain, yaitu waktu. Hidup ini terasa lama karena manusia terikat oleh ruang dan waktu dan terikat pada pola Logika Manusia. Padahal, di dalam kontek Logika Tuhan, maka sebenarnya hidup manusia hanya “satu detik” saja.

Ketika Tuhan masih sendiri, maka ruang dan waktu belum ada. Jadi, Tuhan tak terikat oleh ruang dan waktu. Maka ketika Tuhan berfirman “kun fayakun”, maka jadilah semuanya dan mulai berproses. Tidak hanya alam semesta yang diciptakan, melainkan juga ruang dan waktu. Tuhan menciptakan alam semesta tanpa terikat oleh ruang dan waktu.

Menurut Logika Tuhan, maka konsep ciptaan Tuhan adalah sekaligus. Tidak satu persatu.Tidak menciptakan ruang ,kemudian menciptakan matahari,kemudian menciptakan bulan,kemudian menciptakan bumi,kemudian menciptakan bintang dan seterusnya. Berdasar logika ini, maka sorga dan Nabi Adam serta neraka sudah ada sejak awal penciptaannya.Itulah Logika Tuhan.

Apakah ruang itu?

Secara ilmiah, ruang adalah tempat di mana benda-benda berada. Terikat oleh panjang,lebar,tinggi dan luas. Kalau Anda berada di kamar tidur, maka kamar tidur itulah ruang. Kalau Anda di dalam gerbong kereta api, maka gerbong itulah ruang. Kalau Anda jadi astronout, maka angkasa adalah ruang.

Misteri ruang

Ada misteri logika tentang ruang. Kita sering mendengar kalimat “langit yang tak terbatas” dan “langit berkembang terus”. Kalau tak terbatas, lantas sampai di mana batas langit? Kalau langit berkembang terus, berkembang ke arah mana? Adakah langit di atas langit? Adakah ruang kosong sesudah langit? Bagaimana bentuk fisik ruang? Logika Manusia tak mampu menjawabnya sebab itu merupakan wilayah Logika Tuhan.

Apakah waktu itu?

Klau Anda berangkat dari rumah pukul 07:00 WIB dan sampai di kantor pukul 09:00 WIB, maka Anda menempuh waktu 2 jam. Itulah waktu, yaitu perpindahaan saat ke saat yang lain.

Misteri waktu

Namun, bagaimana bentuknya waktu? Bagaimana warnanya waktu? Logika Manusia tak mampu menjawabnya. Ini wilayah Logika Tuhan.

Konsekuensi ruang dan waktu

Kalau Anda meninggal pada usia 80 tahun, maka Anda akan mengatakan hidup Anda cukup lama. Namun bagi Tuhan, 80 tahun itu sama dengan “satu detik”.Tidak lama. Lama menurut manusia tidak lama menurut Tuhan.

Konsekuensi terikat oleh ruang dan waktu, maka segalanya akan mengalami proses. Dari tumbuh, berkembang menjadi mati. Dari baik menjadi tidak baik atau rusak. Dulu tampan berubah menjadi ompong peot. Dulu cantik menjadi tidak cantik.

Hidup di ruang angkasa

Itu kalau Anda hidup di bumi yang terikat oleh hukum gravitasi yang membuat proses penuaan dan kehancuran menjadi lebih cepat. Namun, jika Anda tinggal di planet yang terjauh dari bumi, di sebuah galaksi lain yang jauh dari bumi, maka ruang dan waktu mempunyai kualitas yang berbeda. Manusia bisa awet muda dan waktu berjalan terasa begitu lambat. Ketika saudara Anda di bumi telah berusia 100 tahun, maka di planet terjauh itu umur Anda baru 50 tahun atau bahkan 25 tahun.

Tidak terikat ruang dan waktu

Artinya, semakin kita menjauh dari bumi, maka kita semakin melepaskan diri dari ruang dan waktu. Dengan kecepatan cahaya, kita akan sampai ke langit terjauh. Jauh,jauh dan di luar ruang dan waktu adalah ruang dan waktu abadi yang sebenarnya tak terikat oleh ruang dan waktu. Ada yang mengatakan itulah sorga dan neraka. Dimensinya sangat berbeda dengan dimensi kehidupan di bumi. Dan Logika Manusia tak mampu menjangkaunya.

Kesimpulan

1.Dengan demikian, tidak benar bahwa Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Sebab,Tuhan menciptakan alam semesta dan seisinya sekaligus.

2.Juga, tidak benar Tuhan menciptakan alam semesta dalam kurun waktu tujuh hari tujuh malam, sebab Tuhan menciptakan ruang dan waktu dan tak terikat oleh ruang dan waktu.

3.Bahkan, tidak benar Tuhan menciptakan manusia dari tanah, udara,api ataupun cahaya sebab Tuhan tak menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada.

Kesimpulan khusus

1.Konsep citaan manusia yaitu dari sesuatu yang ada menjadi ada yang lain (from beingness to another beigness). Misalnya, dari kayu menjadi kursi. Dari benang menjadi kain. Dari air menjadi es. Dari ide menjadi kenyataan. Manusia tak mungkin menciptakan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada.

2.Konsep ciptaan Tuhan yaitu dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada (from nothingness to beingness). Misalnya,dari tak ada ruang dan waktu menjadi ada ruang dan waktu. Dari tak ada manusia menjadi ada manusia. Dari tak ada Nabi Adam dan Siti Hawa menjadi ada Nabi Adam dan Siti Hawa. Dari tak ada sorga dan neraka menjadi ada sorga dan neraka. Namun, semua ciptaan Tuhan terjadi sekaligus. Tidak satu persatu.

“Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang orang yang kena sihir.” (QS: Al Hijr 14-15)”

Jadi, hidup manusia yang katanya hidup 100 tahun menurut Logika Manusia, sebenarnya hanya “satu detik” menurut Logika Tuhan.

Sumber gambar: husnulyakin.wordpress.com

 

Hariyanto Imadha

 ‡ Albert Einstein, lebar, panjang, ruang, tinggi,  Length: [853] words.

Situs Anaknya Perempuan Yikwa