Tag Archives: filsafat

Papua Merdeka TIDAK BUTUH orang sekolah di NKRI, karena …

Papua Merdeka TIDAK BUTUH orang sekolah di NKRI, karena yang terjadi perusakan nalar dan paradigma berpikir. Hasil pertama adalah selalu mengharapkan NKRI memberikan solusi bagi bangsa Papua.

Lihat semua pejabat, semua orang sekolah di West Papua, termasuk yang ada di dalam NKRI, berpendapat, NKRI akan memberikan solusi bagi West Papua.

Itu hasil sekolah!

Jadi kalau mau selesaikan masalah West Papua, maka kita butuh orang Papua asli, orang Papua murni, orang Papua yang lulus Sekolah Adat, yang melihat dunia dari Satu Pintu: PINTU HONAI!

Catatan

Status ini ditulis menggapi status Halaman Facebook tulisan Alen Halitopo, sbb:

Aku ingin banyak bicara tapi, kenapa saya tidak pernah sekolah k? Tuhan Allah tolong lindungi saya dalam kata-kata saya, semoga bermanfaat bagi bangsa ini.

https://www.facebook.com/wesigin.halitopo.3

Hakikatnya Waktu Tidak Pernah menjadi Baru

Jadi sebenarnya tidak ada “Tahun Baru”. Alasan paling sederhana ialah bahwa “waktu” tidak pernah berlalu, waktu tidak pernah lewat, waktu tidak pernah pergi, waktu tidak pernah meninggalkan kita. Waktu selalu ada, dari kemarin, hari ini, sampai selama-lamanya.

Yang datang dan berlalu justru semua yang hidup, semua yang ada di jagatraya ini datang dan pergi. Kedatangan dan kepergian itu disaksikan oleh “waktu”, yang tidak pernah menjadi lama dan tidak pernah menjadi baru itu.

Sebenarnya juga bukanlah datang dan pergi tetapi berubah wujud, dari tidak nampak menjadi nampak, dari angin menjadi cairan, dari cairan menjadi padat, dari pada mencair lagi, dari cairan menguap menjadi uap lagi, dari padat terbakar menjadi uap lagi, kembali menjadi bibit lagi.

Maka sebenarnya yang berubah bukanlah waktu. Waktu justru menjadi penonton setia.

Waktu tidak pernah terpengaruh oleh apapun yang terjadi di muka Bumi, di dalam kehidupan siapapun, dan apapun. Dia ada, berjalan, berputar, dalam siklusnya sesuai aturan hukum alam universal yang berlaku.

Oleh karena itu, setiap manusia hari ini yang punya otak sehat, seharusnya bertanya secara akal sehat,

  • Mengapa ada waktu-waktu dibagi menurut detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad?
  • Mengapa ada waktu dipetak-petak menjadi hari raya dan hari baru, hari lama?
  • Mengapa hari-hari itu dirayakan?

Perihal “Waktu” dan Nasib Manusia yang Hidup “di dalam” Waktu ?

Pengantar

Catatan sebelumnya kita bicara tentang “Waktu” dan “Ruang” adalah ciptaan Manusia modern! Pikirkan untuk Hidup di luar mereka! dengan tujuan untuk melihat konsep waktu menurut Orang Asli Papua (OAP) mewakili Masyarakat Adat (MADAT) sedunia, dan waktu menurut masyarakat modern.

Ada lima hal yang sering diperhatikan dalam melihat “waktu”.

  1. Pertama apa yang membatasi waktu
  2. Kedua, apa arti waktu dalam fisika? Karena waktu dilihat sebagai sesuatu yang pasti.
  3. Maksud waktu dalam sains (ilmu pengetahuan), yaitu nalar, secara khusus manusia modern.
  4. Filsafat waktu dan
  5. Konsep waktu

Dalam artikel sebelumnya kita sudah singgung tentang konsep waktu menurut MADAT dan masyarakat modrn.

Konsep Waktu

Menurut Wikipedia.org waktu adalah

Time is the indefinite continued progress of existence and events that occur in apparently irreversible succession from the past through the present to the future.

<https://en.wikipedia.org/wiki/Time>

[Artinya: Waktu adalah kemajuan tak tentu terus-menerus dari keadaan dan kejadian yang terjadi dalam suksesi yang nampak tidak dapat dibalikkan kembali dari masa lalu melewati masakini ke masadepan.]

Sesuatu sedang berlangsung secara tak menentu, tanpa batas, tanpa akhir dan ia berlangsung terus-menerus. Berlangsung dalam eksistensi dan peristiwa. Dan eksistensi dan peristiwa itu tidak dapat dibalikkan kembali, dari kemarin, hari ini, dan hari esok.

Itu dalam pandangan modern dan barat, inilah pemikiran Newtonian, yang mengatkan bahwa proses waktu dari kemarin, hari ini dan hari esok terjadi terus-menerus, tidak dapat diulang kembali, dalam garis lurus.

Berbeda dengan itu, MADAT dan dunia non-Barat tidak melihat waktu seperti itu. Waktu adalah “keberadaan saat ini”, tidak ada kemarin, tidak ada besok. Kami ada! saat ini! Titik!

Ada yang melihat malahan waktu dia berputar bolak-balik, dari kemarin, hari ini dan besok, dia berputar. Sama seperti planet Bumi adalah bundar, sesungguhnya waktu berjalan dalam sebuah proses siklus, dan ia kembali lagi ke awal, dan kembali lagi ke awal, dan kembali lagi ke awal, tidak berakhir.

Hari ini tanggal 31 Desember 2018, dan besok adalah tanggal 1 Januari 2019. Dan tanggal 31 Desember 2018 itu tidak akan pernah berulang kembali, tidak pernah terkena siklus lagi. Itu pandangan modern.

Itu sebabnya Tahun Baru dianggap sebagai sesuatu yang sangat berarti. Kita dipaksa untuk berbuat banyak hal, misalnya membuat resolusi-resolusi, mengevaluasi peri kehidupan kita dalam berbagai aspek, kalau pengusaha mengeluarkan keputusan-keputusan penting untuk usaha, kalau di dalam gereja biasanya ada pengakuan-pengakuan dosa dan resolusi-resolusi yang dibuat untuk tahun baru nanti.

Karena waktu dianggap TIDAK AKAN PERNAH DATANG KEMBALI, maka pelepasan tahun yang sedang berjalan menjadi sangat vital, dan resolusi menjadi sangat penting.

Hidup di Dalam Waktu = Budak Waktu

Pertanda pertama manusia hari ini yang ada “di dalam waktu” ialah dia punya kalender di dinding, atau di HandPhone, atau di Kompuernya, dan bukan itu saja, dia sering mengecek “waktu” itu sendiri.

Ada yang mengenakan arloji tangan, walaupun sudah punya handphone dan laptop yang menggunakan waktu. Dan pada saat bicara, berjalan, selalu melihat-lihat ke “waktu” yang ada di tangan.

Selain itu, orang yang hidup “di dalam waktu” memiliki jadwal kerja yang jelas. Pagi, siang, sore, malam; Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu; Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember. Ada yang lebih ketat lagi, semua diator menurut jam dan bahkan menit.

Orang seperti ini akan terlihat gelisah dalam hidup. Hidup mereka penuh dengan beban dan stress. Mereka terlihat selalu dikejar-kejar oleh sesuatu, saya tidak menganggap sedang mengejar sesuatu. Mereka mengira mereka mengejar waktu, tetapi sebenarnya bukan, mereka justru dikejar oleh waktu.

Bukan sekedar dikejar, mereka telah menjadi hamba dan budak dari “waktu”. Mereka menjadi tahanan dari “waktu”. Mereka menjadi “terpenjara” oleh konsep waktu.

Jangan heran, di mana ada masyarakat modern, di situ pasti ada Rumah Sakit Jiwa (disingkat RSJ). Di mana ada masyarakat modern, pasti penyakit stress dan depresi, sampai bunuh diri. Pasti ada banyak orang “gila” yang kehilangan keseimbangan antara emosi, nalar dan nurani sehingga mereka menjadi “sampah” masyarakat.

Budak Waktu Memperbudak Manusia Lain

Dampak lanjutan dari manusia-manusia “budak waktu” ialah mereka dikejar dan diperintah oleh waktu, sehingga mereka harus melakukan sesuatu, tanpa disadari, sebenarnya apa-apa yang dilakukan itu merupakan langkah manusia-manusia budak dimaksud untuk menyelamatkan diri atau memerdekakan diri dari perbudakan waktu.

Mereka menyembah kepada “waktu”. Mereka menjadi budak “waktu”. Mereka mengira mereka maju menjadi modern, menjadi makmur, menjadi kaya-raya dan bahagia. Ternyata tidak! Benar! Ternyata tidak! Kekayaan dalma bentuk harta benda dan uang ternyata tidak mendatangkan apa yang dijanjikan oleh “waktu”, yaitu “kebahagiaan hidup”.

Kata mereka, “Time is money“, dan karena itu “waktu” digunakan, atau “waktu memeras mereka semampu-mampunya sampai manusia menjadi mampus dipermainkan oleh waktu”, dan janji dari perbudakannya itu katanya adalah “money”. Dikira “money” dapat membeli “kebahagiaan”. Abraham Maslow mengatakan begitu ada “mass production” dan “mass production” maka ada kebahagiaan dan realisasi diri masng-masing orang. Itulah tujuan akhir dari keberadaan kita dalam kehidupan dalam tubuh fisik ini.

Dapatkan Kita Lihat “Kebahagiaan Hidup” dari Manusia “Budak Waktu”?

Kalau secara jujur kita lihat per tanggal 31 Desember 2018, maka tanpa ragu-ragu kita apat membantah Pak Maslow dan mengatakan kepada dia, “Kok hal itu tidak terbukti dalam hidup daya?”

Definisi “hidup bahagia” seperti yang digambarkan dalam ilmu-ilmu sosial, psikologi, filsafat justru lebih nyata dan dialami di tengah-tengah MADAT. Justru di masyarakat modern terlihat “hidup bahagia” itu menjadi sangat semu. “Kebahagiaan” masyarakat modern jadinya mirip dengan berfoya-foya, berpesta-pora, tampil seolah-olah kaya. Saat kita tatap di mata mereka, karena mereka adalah manusia sama dengan kita, akan nampak jelas “TIDAK ADA KEHAHAGIAAN” terpancar dari wajah mereka.

Apa solusinya?

Solusinya hanya satu, yaitu “Keluar”-lah dari “waktu”, karena perbudakan dimulai oleh, untuk dan karena “waktu”. Dan pada saat kita keluar dari “waktu” maka kita akan menjadi manusia yang benar-benar merdeka secara hakiki.

[Catatan berikut berjudul “Bagaimana dan Siapa yang Hidup di Luar Waktu”]

Niat Baik Sering Disampaikan dengan Cara yang Justru Menjadi Bumerang Bagi Niat Baik itu Sendiri

Kisah ini mengajarkan kepada saya bahwa tidak semua niat baik itu akan dipuji orang lain, dan tidak semua niat baik itu dapat diwujudkan dengan cara-cara yang baik pula.

Ada banyak niat baik yang sering diwujudkan dengan cara-cara yang tidak tepat akibatnya malahan menjadi bumerang bagi niat kita itu sendiri.Dan ada banyak niat baik yang tidak dipuji, tetapi diremehkan, dan bahkan dicaci dan ditolak.

Oleh karena itu, kita hraus belajar dan terus belajar, sampai di alam sebelah-pun kita terus belajar!

Reza A.A Wattimena: Aku dan Waktu

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Banyak orang yang hidupnya dikejar oleh waktu. Mereka membuat rencana yang detil pada hidupnya. Pada usia tertentu, misalnya, mereka sudah harus selesai kuliah. Pada usia yang lainnya, mereka sudah harus punya pacar, dan sebagainya.

Ketika rencana tidak sejalan dengan kenyataan, mereka lalu kecewa. Mereka mulai membandingkan keadaan yang mereka alami dan keadaan yang mereka rencanakan. Dari perbandingan lalu muncul kesedihan. Kesedihan menjadi akar dari depresi, stress dan berbagai penderitaan batin lainnya.

Hal ini khususnya dialami oleh banyak perempuan. Mereka membuat rencana yang detil dalam hidupya. Pada usia tertentu, mereka merasa harus sudah punya pasangan. Dan beberapa tahun berikutnya, mereka berencana untuk segera menikah.

Setelah menikah, mereka juga segera langsung berencana punya anak. Semua sudah terpeta dan terencana. Namun, sayangnya, hidup selalu berkelit dari rencana. Ketika rencana dan kenyataan tak berjalan seiring, kekecewaan dan kesedihan pun datang melanda.

Semua rencana ini biasanya lahir dari tuntutan sosial. Orang tua dan masyarakat sekitar menginginkan kita untuk hidup sesuai dengan nilai dan pola yang telah mereka buat. Kita pun kemudian melihat nilai dan pola itu sebagai bagian dari diri dan identitas kita sebagai manusia. Ketika hidup kita tidak sejalan dengan nilai dan pola yang ditetapkan masyarakat, kita lalu dianggap sebagai orang yang aneh, bahkan kriminal.

Nilai dan pola masyarakat telah kita telan menjadi nilai pribadi kita sendiri. Inilah yang disebut sebagai proses internalisasi nilai. Kita tidak lagi secara sadar melihat perbedaan antara nilai-nilai pribadi yang kita punya, dan nilai-nilai masyarakat yang ditanamkan pada kita. Ketika kita gagal mewujudkan semua ini, kita pun lalu hidup dalam penderitaan.

Semua rencana ini berpijak pada satu pandangan tentang waktu. Kita memacu diri kita untuk bisa berlari dengan waktu. Bahkan, kita pun merasa terus dikejar oleh waktu. Pertanyaan yang perlu kita pikirkan disini adalah, apa itu waktu?

Waktu dan Filsafat

Filsuf di awal abad pertengahan Eropa, yakni Agustinus, telah melihat perbedaan antara dua macam waktu, yakni waktu subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di dalam batin kita. Sementara, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di dalam jam dan kalender. Ia adalah hari, jam dan tanggal yang digunakan sebagai panduan oleh banyak orang di dalam hidupya.

Waktu subyektif dan waktu obyektif berjalan dengan logika yang berbeda. Satu jam terkena macet di jalan dan satu jam bersama kekasih tercinta memiliki rasa yang amat berbeda. Secara obyektif, keduanya sama, yakni satu jam. Namun, secara subyektif, keduanya amatlah berbeda.

Di masa awal perkembangan ilmu pengetahuan modern di Eropa, pandangan tentang waktu subyektif pun disingkirkan. Yang tersisa kemudian adalah pandangan tentang waktu yang obyektif. Di sini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang ada secara mandiri di luar diri manusia. Ia adalah bagian nyata dari alam yang bisa diukur.

Pandangan ini kemudian dikritik oleh Immanuel Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman. Ia berpendapat, bahwa waktu adalah bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam, melainkan di dalam pikiran manusia. Sebagai bagian dari pikiran manusia, waktu membantu manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.

Di dalam filsafatnya, Kant sudah menegaskan, bahwa waktu selalu terkait dengan ruang. Keduanya adalah bagian dari pikiran manusia. Pandangan ini dikembangkan selanjutnya oleh Albert Einstein. Ia melihat, bahwa waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Maka dari itu, ia merumuskan konsep ruang-waktu untuk menegaskan maksudnya.

Pada awal abad 20, Filsafat Barat menimba banyak sekali pemikiran dari Filsafat Timur, terutama tradisi Taoisme dan Buddhisme yang berkembang di Cina dan India. Di dalam Filsafat Timur, waktu dilihat sebagai persepsi manusia. Ia tidak bisa dipisahkan dari kedirian manusia itu sendiri.

Pandangan semacam ini sudah mengakar begitu dalam di dalam tradisi Cina dan India. Mereka melihat, bahwa waktu tak bisa dilepaskan dari pikiran manusia. Maka dari itu, bisa juga dirumuskan, bahwa waktu adalah aku. Jika Einstein melihat kaitan tak terpisahkan antara ruang-waktu, maka Filsafat Timur melihat kaitan yang tak terpisahkan antara aku-waktu.

Peradaban Eropa melihat waktu sebagai sesuatu yang linear, yakni sesuatu yang bergerak lurus. Ia terdiri dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketiganya dilihat sebagai tiga hal yang berbeda, walaupun saling berhubungan. Jika masa lalu sudah lewat, maka ia sudahlah berlalu, dan tak akan bisa kembali lagi.

Pandangan ini menjadi akar dari slogan yang populer tentang waktu, bahwa waktu adalah uang. Artinya, waktu adalah sumber daya yang bisa habis dipakai. Jika kita menggunakan waktu kita secara tidak produktif, maka kita seperti membuang uang saja. Pandangan waktu sebagai sesuatu yang lurus dan terbatas layaknya sumber daya inilah yang membuat kita merasa terus dikejar oleh waktu, dan memacu diri kita terus menerus untuk mewujudkan rencana-rencana kita dalam rentang waktu tertentu.

Namun, pandangan ini tidak universal. Ada pandangan yang lain tentang waktu, yakni waktu sebagai lingkaran. Ia tidak lurus, dan tidak terbagi terpisah antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Di dalam pandangan waktu sebagai lingkaran, segala sesuatu akan berulang, dan membentuk pola yang tetap. Waktu bukanlah sumber daya yang terbatas. Sebaliknya, ia tak terbatas, dan akan menciptakan dirinya sendiri berulang-ulang tanpa henti.

Martin Heidegger, filsuf Jerman di awal abad 20, menimba pemikiran dari kedua tradisi tersebut. Baginya, waktu adalah horison hidup manusia. Dalam arti ini, manusia adalah mahluk yang mampu mempertanyakan dasar dari seluruh kenyataan yang ada. Ia berada di dalam kenyataan, dan selalu hidup di dalam tiga kategori waktu yang terjadi secara bersamaan, yakni masa lalu, masa kini dan masa depan.

Jadi, ketika kita berpikir, kita secara otomatis berpikir dalam tiga waktu yang berbeda, yakni masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketiga kategori itu selalu hidup di dalam diri kita. Pertanyaan kritisnya adalah, apakah pandangan Heidegger ini bisa dipertanggungjawabkan? Apakah masa lalu dan masa depan memiliki keajegan yang sama dengan masa kini yang sedang kita alami?

Masa lalu, Masa Kini dan Masa Depan

Secara alamiah, kita tahu, bahwa kita hidup di masa kini. Yang ada adalah masa kini. Masa lalu tidaklah sungguh ada, karena ia hanya sebentuk ingatan atas peristiwa yang tak lagi ada. Masa depan juga tidak sungguh ada, karena ia hanya terbentuk dari harapan dan bayangan semata. Jadi, jika dipikirkan secara tepat dan alamiah, yang ada hanyalah masa kini.

Namun, seringkali karena terbiasa, kita melihat masa lalu sebagai kenyataan. Kita mengingat apa yang telah lalu secara berlebihan, sehingga itu membuat kita cemas. Penyesalan dan kemarahan atas apa yang telah lalu pun muncul. Pada titik ini, kita lupa, bahwa kita memikirkan apa yang tidak ada. Kita pun akibatnya membuang-buang energi percuma, serta menciptakan penderitaan tanpa alasan untuk diri kita sendiri.

Kita juga terbiasa terbiasa berpikir tentang masa depan. Kita terpaku pada rencana dan ambisi. Kita mengira, bahwa rencana dan ambisi adalah sesuatu yang nyata. Kita pun lupa, bahwa keduanya tidaklah sungguh ada, melainkan hanya sekedar bayangan semata.

Jika yang ada adalah masa kini, maka waktu pun menjadi tidak relevan bukan? Pada titik ini, saya sepakat dengan konsep aku-waktu. Keduanya adalah satu. Makna waktu yang sejati amat tergantung pada cara berpikir yang kita gunakan dalam hidup.

Ketika kita memilih untuk dibebani masa lalu, maka masa kini akan lenyap, dan kita akan hidup sepenuhnya dalam penindasan masa lalu. Ketika kita memilih untuk dibebani oleh ambisi dan rencana masa depan, maka kita juga akan kehilangan masa kini, dan hidup dalam tegangan kecemasan terus menerus. Keduanya adalah cara berpikir yang menciptakan penderitaan, dan membuang banyak sekali energi. Namun, keduanya bisa dengan mudah dihindari.

Caranya adalah dengan menjadi alamiah. Secara alamiah, kita tahu, bahwa yang sungguh-sungguh nyata dan ada adalah masa kini. Jadi, mengapa sibuk memikirkan masa lalu dan masa depan? Lakukan apa yang terbaik disini dan saat ini, tanpa beban masa lalu, tanpa ambisi akan masa depan.

Inilah kebijaksanaan tertinggi. Ketika orang bisa mengakar pada masa kini dan sini, ia hidup dengan ketenangan batin yang dalam. Ia punya ingatan akan masa lalu, tetapi tidak dijajah olehnya. Ia punya harapan akan masa depan, tetapi tidak hidup di dalam bayang-bayangnya.

Waktu adalah aku. Aku adalah waktu. Keduanya sama dan tak terpisahkan. Pikiranku tak bisa terpisahkan dari waktu, dan waktu adalah persepsi dari pikiranku sendiri. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kondisi pikiranku?

Sumber: https://rumahfilsafat.com

 ‡ filsafat,  Length: [1459] words.

Situs Anaknya Perempuan Yikwa