Loading, please wait...
 

FIlsafat Modern

7 Posts

     "FIlsafat Modern"» has the following Sub-Category:

    • No categories
  •  🡩

    Category Archives: FIlsafat Modern

    CARA membela KEBENARAN tidak dengan mencari KESALAHAN! Apalagi membahas KESALAHAN!

    Sama persis dengan menerangi suatu tempat tidak dengan mencari-cari gelap, akan tetapi dengan membawa terang, maka kegelapan itu dengen sendirinya akan lenyap.

    Oleh karena itu melihat kebenaran dengan cara mendaftarkan dan menyoroti kesalahan, atau apa yang dianggap salah adalah cara jitu mengotori dan menyalahkan diri sendiri.

    Karena orang kebenaran tidak pernah dan tidak dapat bersatu dengan kesalahan dan kebenaran tidak pernah mengenal apalagi membahas kesalahan.

     ‡ benar lawan tipu, kebenaran, kesalahan Length: [95] words.

    Forgiveness: Don’t go to bed without it!

    Releasing anger and irritation before the sun goes down is a mercy worth ritualizing

    28) Create a short end-of-day ritual to ask for (and extend) forgiveness with those you live with. “Do not let the sun set on your anger” (Eph. 4:26). — 56 Ways to Be Merciful During the Jubilee Year of Mercy

    Women’s magazines are always stressing the importance of not going to bed with your makeup on. It’s true – unless removed with gentle cleansing, makeup residue left to linger overnight can attract dirt, clog pores, and eventually trigger flare-ups of inflammation and ugly blemishes.

    In our everyday spiritual lives, the opposite is true. Scripture warns us against going to bed without making up. “So then,” Paul writes to the Ephesians, “putting away all falsehood, let us speak the truth to our neighbors, for we are members of one another. Be angry but do not sin; do not let the sun go down on your anger, and do not make room for the devil.” (Ephesians 4:25-27).

    Spiritual advice can sometimes be complicated, but this is one teaching that makes pure and perfect common sense. The effects of not reconciling with one another – our family members, friends, coworkers, even ourselves, and especially our God – on a regular basis are much like the effects of leaving makeup on overnight. Grudges held attract the dirt of more anger and irritation. Withholding forgiveness (or stubbornly refusing to ask it from those we have wronged) clogs the pores of the soul and the arteries of the heart. The smoldering embers of anger will inevitably stir into explosive flames of rage when we least expect it, and give rise to outbreaks of sin’s ugly blemishes.

    Don’t believe it? Think about the last time you took your spouse’s head off for installing the toilet paper roll facing the wrong direction.

    Making up – acknowledging and forgiving and setting ourselves free of the day’s burden of aggressions, micro and macro – is more than just good spiritual and psychological hygiene. It’s a mercy, a participation in God’s merciful making up with humanity in Christ Jesus, every day until the sun shall shine no more. And as such it is an act of spiritual combat, because the devil is defeated when we make peace.

    Those magazine articles about removing makeup before going to bed stress the importance of making nightly skin care a habit. If you build in the time to cleanse your skin and do it regularly for a couple of weeks, it will become routine. You will be less likely to skip the step “just this once,” because you’ve made the practice of removing makeup consciously important.

    In other words, you’ve created a ritual.

    This week’s suggestion for how to practice mercy in the Jubilee Yearprompts us to think about doing the same thing with making up: “Create a short end-of-day ritual to ask for (and extend) forgiveness with those you live with.” That is, don’t just have a general good intention not to go to bed mad. Act, with conscious deliberation, to clear the decks of anger each day before the lights go off.

    “Creating a ritual” doesn’t have to mean composing a liturgical office, wearing special forgiveness vestments, and selecting suitable hymns. (Good luck with that last one, in any case, because getting any two Catholics to agree on what constitutes a suitable hymn is more likely to trigger an all-out war than to celebrate reconciliation!) No, the important thing is doing something that is meaningful to you and yours, over and over again, until it becomes second nature. Your ritual will depend a lot on who you are and who you live with, but here are just a few ideas to get you started:

    • Before falling asleep, hold hands with your spouse, look into each other’s eyes, and say “I’m sorry. I forgive you.”
    • When praying bedtime prayers with your children, take a minute to mention and let go of the crankiness and arguments and sulks of the day. Let kids do this with one another and with you as parents.
    • When things have been particularly stressful, invite family members to write notes to place on one another’s pillows. The message can be as simple as “Let’s make tomorrow better.” Children can draw pictures.

    If you live alone, adapt these ideas to your circumstances. Sometimes that will mean calling or texting others at the end of the day to ask “Are we good?” Often it will mean finding ways to let go of the old angers that keep you isolated and lonely. Always, it will mean asking God to help you make up with yourself and with him before the sun goes down.

    “Do not make room for the devil” – or the nasty pimples of rage. Say goodnight, Gracie, with grace and mercy, every night.

    Source: https://aleteia.org/

    (Racun) Populisme, Politik Identitas, dan Jalan Panjang Demokrasi

    JakartaDetikNews

    Judul Buku: Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural; Penulis: Burhanuddin Muhtadi, Ph.D, Penerbit: Intrans Publishing, Malang, Maret 2019; Tebal: xxiv + 304 Halaman

    Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden serta para calon legislatif perlahan menunjukkan konfidensi popularitasnya di mata publik pemilih, terkhusus menjelang detik-detik pencoblosan. Setiap dari mereka sudah sejak lama memupuk rasa keberpihakan dan kedekatan terhadap rakyatnya. Oleh sebab itu, benarlah yang dikatakan oleh Edward A. Shils (1989) bahwa pemimpin populisme sangat dekat “memihak” dan “dekat dengan rakyat”.

    Ajang demokrasi lima tahunan kali ini benar-benar melelahkan. Ada begitu banyak energi yang terbuang ke permukaan dan sayangnya yang tampak hanyalah gelembung ujaran kebencian. Sementara kepastian dampak janji politiknya masih belum dapat diprediksi secara signifikan realisasinya bagi si miskin yang lapar dan yang tak bertempat tinggal. Namun, di sudut lain terus menerus narasi yang diusung oleh para kandidat cenderung khas ala programatik populis tanpa dibarengi keterukuran resonansi capaiannya.

    Pada saat semua mata publik tertuju ke arah popularitas 01 dan 02, maka bersamaan dengan itu juga ada para calon legislatif (caleg) yang bertarung habis-habisan tanpa pernah tersorot mata lensa. Untuk mendulang suara elektabilitas terkadang ujaran kebencian ditebar, sebutan kaum “cebong” dan kaum “kampret”yang jauh dari substansi demokrasi pun seolah dipatut-patutkan. Betapa celakanya prosedur demokrasi yang berakhir pada perendahan harkat martabat masing-masing golongan.

    Pesta demokrasi yang –katanya– mesti dihiasi kegembiraan dan antusias mendadak tergerus dengan narasi-narasi kecemasan dan ketakutan. Sebagian akademisi kerap menyebut Pemilu 2019 ini sebagai ancaman bagi dekandensi moral demokrasi kita. Sementara bagi sebagian mantan calon legislatif (caleg) 2014 menyebut pemilu kali ini sebagai “medan gelap kontestasi”, sehingga mereka memilih “kapok” untuk terlibat berkontestasi lagi di pemilu kali ini. Alasannya antara lain karena cost politics yang terlampau tinggi yang ditanggung oleh individu caleg, plus sempitnya peluang untuk menang. 

    Sampai di sini, apa yang salah dari populisme calon pemimpin kita? Dan, apa yang menjadi ancaman dari politik identitas saat ini? Lalu, mengapa institusi elektoral kita tak beranjak dari kebuntuannya? Di sini kita membutuhkan tak sekadar jawaban. 

    Buku ini lahir di tengah mencekamnya politik identitas dan menguatnya model kepemimpinan populis. Ia lahir dan mencatat rekam jejak serta laju demokrasi prosedural di Indonesia, khususnya sejak pasca-Reformasi berlangsung. Bagi Burhanuddin Muhtadi, tanpa ada catatan kritis yang terdokumentasi dan upaya meredemokrasi sistem pemilu agaknya mencapai demokrasi seutuhnya hanya menjadi mimpi di siang bolong.

    Burhanuddin membagi kajian dalam buku ini menjadi beberapa bagian. Pertama ia mengulas tentang populisme dan politik identitas. Kedua, koalisi transaksional dan kutukan sistem presidensial. Ketiga, rekonsolidasi politik Jokowi. Keempat, dinamika elektoral jelang Pemilu Serentak 2019. Keempat, membahas tentang ideologi partai, oportunisme elite dan perilaku pemilih. Pada bagian terakhir mengulas tentang partai politik dan episentrum korupsi di Indonesia.

    Dari keseluruhan ragam variabel masalah yang dihadirkan, setidaknya titik interseksi penting ada pada menguatnya populisme dan politik identitas yang berdampak pada laju birokrasi elektoral.

    Populisme akan selalu menarik ketika ia dipertarungkan dan agaknya para pakar politik menyepakati itu. Terlepas dari varian dan kategori populisme wong cilik, populisme otoriter dan populisme revolusioner sebagaimana yang dimaksud oleh Canovan. Populisme dalam politik hingga kini masih ada dalam ruang remang pendefinisian.

    Dari segi implementasi, populisme yang ditawarkan dalam politik elektoral tidaklah mesti berbuah manis. Kadang pula ia justru menjadi benalu bagi tumbuhnya indeks demokrasi suatu Negara. Dirilis oleh Economist Intelligence Unit yang dilansir dalam Indeks Demokrasi Global pada 2010, Thailand di posisi ke-57, Papua Nugini di posisi 59, sementara Timur Leste berada di posisi 42. Sementara demokrasi Indonesia berada pada posisi ke-60. Sebabnya, kadar toleransi di Indonesia yang terus menipis sehingga mempengaruhi pada laju intensitas pelanggaran kebebasan beragama.

    Di sisi lain yang mempengaruhi laju demokrasi prosedural terletak pada institusinya. Salah satu efek turunan dari keremangan sistem pemilu terletak pada efek elektoral yang tidak lagi menghadirkan para legislator yang menawarkan gagasan dan justru yang terjadi ialah menguatnya money politics.

    Dalam hal menyikapi maraknya politik uang, menurut Burhanuddin ada tiga faktor yang mempengaruhi. Pertama, desain kelembagaan atau faktor institusional. Kebijakan proporsional terbuka terlampau mengarahkan politik elektoral bertumpu pada personal vote dan kepada para kandidat, sementara kebijakan desentralisasi pada arena elektoral yang dengan jumlah pemilih lebih sedikit. 

    Kedua, tingkat pendidikan dan pendapatan. Pemilih berpendapatan rendah (miskin) berkecenderungan menerima pemberian uang ketimbang menimbang alasan rasional programatik yang ditawarkan para kandidat. Ketiga, politik uang sebagai produk sosial dan kultural masyarakat. Kuatnya hubungan patron-klien menjadi pupuk penyubur praktik politik uang. Patron berperan sebagai penyuplai produk atau uang untuk melesatkan kepercayaan dan loyalitas klien.

    Melawan politik uang dalam ajang pemilihan umum memanglah bukan hal yang mudah. Tapi, semua praktik tersebut bisa dilakukan secara sederhana melalui perbaikan sistem dalam pemilu. Dalam instrument sistem yang baik, iblis yang diasumsikan jahat akan beranjak menjadi baik. Sementara dalam instrumen sistem yang buruk, malaikat yang diasumsikan baik sekalipun akan menjadi buruk.

    Setelah sampai pada poin perbaikan sistem institusi, Burhanuddin menawarkan perlunya merubah pola pendekatan metode atau kedekatan sosio-demografis menjadi pendekatan metode rasional. Sebab, pendekatan sosio-demografis hanya menawarkan populisme yang cenderung negatif dan potensi menghilangkan unsur-unsur sosialisasi-rasional dalam proses pertimbangan memilihnya.

    Dalam melihat perilaku pemilih, bagi Burhanuddin sendiri bukanlah hal sederhana. Perilaku pemilih merupakan gejala yang kompleks, karena keputusan pemilih ditentukan oleh banyak faktor. Seorang calon yang berasal dari kelompok identitas primordial tertentu belum tentu dapat menarik suara mayoritas di kelompoknya sendiri. Hal tersebut terjadi karena ada faktor identitas.Para pemilih juga mempertimbangkan faktor lain, terutama kualitas personal calon. Kondisi tersebut dalam dinamika politik lokal sering kali membuka ruang mobilisasi politik identitas. 

    Buku ini tidaklah hadir tanpa kritik. Tentu masih ada banyak celah yang bisa dikritik dalam melihat akar permasalahan demokrasi prosedural. Pendekatan institusional memang akan selalu terhenti pada perbaikan sistem, sementara akar ketimpangan hak politik, hak ekonomi dan sosial budaya hanya akan terhenti pada melihat gejala demi gejala yang muncul di permukaan.

    Abdurrachman Sofyan peneliti Intrans Institute Malang


    (mmu/mmu)

    Hakikatnya Waktu Tidak Pernah menjadi Baru

    Jadi sebenarnya tidak ada “Tahun Baru”. Alasan paling sederhana ialah bahwa “waktu” tidak pernah berlalu, waktu tidak pernah lewat, waktu tidak pernah pergi, waktu tidak pernah meninggalkan kita. Waktu selalu ada, dari kemarin, hari ini, sampai selama-lamanya.

    Yang datang dan berlalu justru semua yang hidup, semua yang ada di jagatraya ini datang dan pergi. Kedatangan dan kepergian itu disaksikan oleh “waktu”, yang tidak pernah menjadi lama dan tidak pernah menjadi baru itu.

    Sebenarnya juga bukanlah datang dan pergi tetapi berubah wujud, dari tidak nampak menjadi nampak, dari angin menjadi cairan, dari cairan menjadi padat, dari pada mencair lagi, dari cairan menguap menjadi uap lagi, dari padat terbakar menjadi uap lagi, kembali menjadi bibit lagi.

    Maka sebenarnya yang berubah bukanlah waktu. Waktu justru menjadi penonton setia.

    Waktu tidak pernah terpengaruh oleh apapun yang terjadi di muka Bumi, di dalam kehidupan siapapun, dan apapun. Dia ada, berjalan, berputar, dalam siklusnya sesuai aturan hukum alam universal yang berlaku.

    Oleh karena itu, setiap manusia hari ini yang punya otak sehat, seharusnya bertanya secara akal sehat,

    • Mengapa ada waktu-waktu dibagi menurut detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad?
    • Mengapa ada waktu dipetak-petak menjadi hari raya dan hari baru, hari lama?
    • Mengapa hari-hari itu dirayakan?

    Does hiding a truth constitute lying?

    PENJELASAN AWAL

    Saudara-saudara keluarga besar Yikwanak.com di manapun Anda berada. Ada pelajaran penting yang saya dapat hari ini tanggal 6 November 2018. Pada hari ini saya sedang membuat teman-teman WordPress untuk kepentingan pribadi.

    Tema-tema yang saya kembangkan punya beberapa tambahan yang saya mau lakukan, yang sering saya dapati di Internet, khususnya di situs stackoverflow.com, akan tetapi kali ini agak sulit saya dapatkan.

    Saya sedang cari script .php yang bisa membantu saya menampilkan “Popular Posts dari Kategori yang sedang saya lihat”, atau dengan kata lain “Popular Posts in This Category”.  Saya sudah lama punya satu script, tetapi begitu WordPress diupgrade, maka sudah tidak dapat saya gunakan lagi.

    Tema yang sedang saya kembangkan saya sebut “Twodder Hybrid“, silahkan simak penjelasan saya tentang tema ini di link ini.

    Sesampai di stackoverflow.com, saya tidak mendapatkan jawaban persis seperti yang saya inginkan. Maka saya cari link lain di sisi kanan atas, juga tidak ada, maka saya cari topik di bagian bawah, yang sebenarnya bukan bagian dari JS atau CSS atau WordPress juga tidak terkait. Tetapi di situ ada topik-topik umum yang sreing ditanyakan. Dan kagetnya, judul ini “Does hiding a truth constitute lying?” adalah yang pertama terdaftar dalam bilik ini.

    Saya jadi tertarik, lupakan sebentar script untuk tema WordPress karena tema yang ada ini lebih penting buat hidup saya hari ini dan hidup saya setelah saya ada di alam baka.

    PERTANYAAN

    Tulisan itu berlanjut di bawah, maaf saya coba terjemahkan untuk mempermudah pembacaan saya juga:

    I am expected to tell the truth if asked. But sometimes I hide the truth. For example once , although I have diabetes, I ate sweet in a shop and then I withdrew money from atm. My wife called me and asked me what am I doing outside ? I said I am withdrawing money from ATM. I deliberately did not tell her that I primarily came out to eat sweets.

    If a person hides a truth for his profit then does it constitute lying ? <https://philosophy.stackexchange.com/questions/56836/does-hiding-a-truth-constitute-lying>

    Artinya: Saya diharapkan menjawab yang benar saat ditanya. Tetapi kadangkala saya sembunyikan yang sebenarnya. Misalnya, sekali waktu, walaupun saya terkena penyakit diabetes, saya sampaikan makan gula-gula di satu toko dan kemudian saya tarik uang dari atm. Isteri saya panggil saya dan tanya saya sedang apa di luar sana? Saya sedang tarik uang dari ATM. Saya dengan sengaja tidak beritahu dia bahwa tujuan utama saya keluar kemari adalah untuk makan gula-gula.

    Bila seseorang menyembunyikan kebenaran untuk keuntungannya sendiri, apakah ini sudah termasuk dosa?

    TANGGAPAN

    • This is usually called lying by ommission – Cedric Martens 5 hours ago
    • I am expected to tell the truth if asked. Expected by whom? Yourself? If so, then you must always be true to yourself. By your wife? If she’s as vital to you as you are to yourself, then you must be true to her as well. This may mean that you will have to stop eating things that harm your health 😉 – Bread 4 hours ago
    • Deliberately choosing to misunderstand a question so your answer is more favorable to yourself is unethical, yes, whether or not it is technically lying. – ESR 1 hour ago

    Tanggapan ini mengatakan sebagai berikut

    • Ini biasanya disebut menipu dengan menghilangkan. – Cedric Martens 5 hours ago
    • Saya diharapkan beritahu yang benar kalau ditanya. Diharapkan oleh siapa? Olehmu sendiri? Kalau begitu, anda seharusnya berbuat benar kepada diri sendiri. Oleh isteri anda? Jika dia (isterimu) sama penting dengan anda menganggap dirimu sendiri, maka anda seharusnya berbicara benar kepadanya juga. Ini bisa berarti bahwa anda harus berhenti makan gula-gula yang akibatnya merusak kesehatanmu sendiri.
    • Dengan sengaja memilih untuk salah paham atas sebuah pertanyaan sehingga jawaban anda lebih condong kepada dirimu sendiri itu tidak etis, benar demikian, entah apakah secara teknis anda sedang menipu.

    JAWABAN www.yikwanak.com:

    Jawaban Yikwanak.com Kole ialah bahwa jelas ini tipu, pertama menipu diri sendiri, dan kedua menipu sesama, dalam hal ini menipu isteri. Secara awam kita sebut dosa putih dan dosa hitam, dosa kecil dan dosa besar, dosa untuk kebaikan, dan dosa untuk kepentingan bersama. Semuanya tipu.

    Menurut Yiwakanak.com Kole, ini penipuan paling parah, karena sang suami berani menipu dirinya sendiri, dia terkena penyakit tetapi dia menipu isterinya untuk makan gula-gula. Saya harap saya tidak begitu, dan saya mengundang semua YIkwanak.com di luar sana tidak menipu diri sendiri, sama seperti orang ini.

    Kami juga mengundang Anda, ya benar, Anda yang membaca tulisan ini, “Berhenti Menipu Diri Sendiri!” karena dengan demikian semua penipuan di muka Bumi akan lenyap.

    Ingat, “Iblis adalah bapa segala pendusa!”:

     Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta (Alkitab Perjanjian Baru,Injil Yonanes 6:44)

     

    Konsep Waktu dalam Filsafat dan Sains (1)

    Semua orang merasakan waktu, tetapi kebanyakan tidak mempertanyakan hal itu karena mereka mengalami setiap hari dan sangat intim (Fraser, 1987: 17-22). Jika kita ingin memahami sifat waktu, maka renungkanlah pertanyaan-pertanyaan mendasar ini:
    • Apakah waktu benar-benar nyata?
    • Bisakah kita menghentikannya?
    • Bisakah kita membalikkannya?
    • Apakah aliran waktu bersifat universal, atau hal itu hanya terkait dengan pengamat?
    • Kapan waktu berawal, dan apakah ia memiliki akhir?
    • Apakah ada waktu objektif, atau ia hanya suatu konstruksi dari imajinasi kita?
    • Apakah ada hubungan antara ruang dan waktu?
    • Bagaimana struktur waktu?
    • Apakah waktu itu kontinu atau diskrit?
    • Apakah arti dari kata “sekarang” dan “sebentar”?
    • Mengapa waktu bergerak ke masa lalu?
    • Bagaimana realitas masa depan?

    Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi subjek filsafat, fisika, dan kosmologi selama berabad-abad dengan sedikit kemajuan dalam menemukan jawabannya. Pertanyaan: “Apa itu waktu?”, tidak berbeda seperti pertanyaan: “Apa itu cinta?”; karena ia adalah sesuatu yang semua orang bisa merasakannya tapi tidak ada yang dapat memberikan definisi dengan tepat atasnya. Jika Anda mengajukan pertanyaan kepada banyak orang tentang waktu, pasti akan mendapatkan banyak jawaban. St. Augustine dalam Confessions bertanya, “Apa itu waktu?” Ketika tidak ada yang bertanya kepadanya, ia mengetahui; ketika seseorang bertanya kepadanya, ia tidak mengetahuinya.

    Pemahaman mengenai waktu sangat penting dari sudut praktis di mana orang membutuhkan informasi untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa besar seperti banjir dan waktu panen, dan dari sudut filosofis didasarkan pada rasa ingin tahu dan cinta terhadap pengetahuan. Banyak agama dan aliran filsafat mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang waktu. Beberapa agama dan aliran filsafat mempertimbangkan waktu sebagai lingkaran tanpa awal atau akhir, ada juga yang menganggapnya sebagai linier dengan eksistensi pada masa lalu dan masa depan yang tak berbatas, dan ada pula yang menganggapnya sebagai imajiner karena eksistensi nyata adalah gerakan atau materi fisik saja.

    Konsep waktu diperlukan ketika kita bertanya tentang kronologis suatu peristiwa dan durasinya. Dan karena hidup manusia dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang beragam jenisnya sehingga waktu memiliki tanda atau simbol pada semua aspek kehidupan. Beberapa contohnya seperti: proses penuaan secara biologis, ketepatan waktu dalam mekanika, arah waktu dan entropi dalam termodinamika, dan variasi waktu psikis yang dirasakan seseorang ketika menunggu sesuatu atau peristiwa. Oleh karena itu, waktu diperlukan untuk memahami realitas pada berbagai bidang yang terkait erat dengan fisika, biologi, psikologi, dan kosmologi.

    Selama abad terakhir, seiring dengan konsep baru yang revolusioner dalam fisika dan kosmologi serta teknologi modern, akurasi ketepatan waktu menjadi sangat penting karena merupakan acuan bagi gerakan-gerakan yang sangat rumit—misalnya berbagai bagian mesin—karena diperlukan sistem kerja sama secara koheren. Pentingnya peristiwa waktu di Bumi dan di ruang angkasa telah disempurnakan oleh mesin yang mengukur ketepatan waktu seperti jam elektronik, jam atom, dan pulsar yang memancarkan gelombang radio pendek secara berkala dengan presisi sangat tinggi. Tetapi meskipun konsep-konsep abstrak tentang waktu seperti “perjalanan waktu” dan “kelengkungan waktu” yang dibawa oleh teori Relativitas, konsep modern kita mengenai waktu biasanya cukup praktis karena semuanya dilakukan sesuai jarum jam. Bahkan, teori fisika dan kosmologi modern telah menambahkan banyak pertanyaan dan paradoks tentang waktu daripada menjawabnya (Grunbaum, 1971, 195:230).
    Sekarang kita dapat mengetahui dua aliran utama yang bertentangan secara filosofi mengenai waktu:
    1. Rasionalis (realistis) yang memiliki pandangan berdasarkan pemahaman dunia fisik.
    2. Idealis (dapat dikatakan irasional) berdasarkan pandangan metafisika.

    Rasionalis percaya bahwa pikiran adalah kekuatan yang paling kuat dari manusia dan mampu memahami segala sesuatu di dunia, sedangkan irasionalis mempertimbangkan dunia, termasuk waktu, sebagai sesuatu di luar kemampuan pikiran. Menurut Idealis, tidak ada yang terlepas dari pikiran, termasuk waktu. Oleh karena itu, Idealis percaya bahwa waktu dikonstruk dalam pikiran dan tidak memiliki eksistensi terpisah darinya.

    Konsep Waktu dalam Filsafat Yunani

    Sejak masa Homer, kata Yunani chronos digunakan untuk merujuk kepada waktu. Chronos adalah dewa Yunani yang ketakutan terhadap anak-anaknya karena akan mengambil alih kerajaannya, sehingga ia memakan mereka satu persatu—seperti waktu yang membawa sesuatu menjadi eksistensi dan kemudian eksistensi tersebut kembali datang kepada waktu.

    Kita sudah mengetahui dua aliran berlawanan mengenai waktu yang berbeda dengan pemikiran Plato dan Aristoteles. Plato menganggap waktu dibuat dengan dunia, sementara Aristoteles berpandangan bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang merupakan perluasan tak terbatas dan berkesinambungan. Plato mengatakan, “Waktu muncul bersama-sama dengan surga, karena keduanya menjadi secara bersamaan” (Cornford, 1997:99).

    Aristoteles percaya bahwa proposisi Plato memerlukan titik waktu sebagai awal waktu yang memiliki waktu sebelumnya. Gagasan ini tak terbayangkan bagi Aristoteles sesuai dengan pendapat Demokritus mengenai konsep waktu tak diciptakan dan mengatakan: “Jika waktu adalah gerakan abadi, maka ia juga harus abadi karena waktu adalah anggota gerak. Mayoritas filsuf, kecuali Plato, menegaskan keabadian waktu. Waktu tidak memiliki batas (awal atau akhir), dan setiap saat adalah awal dari waktu masa depan dan akhir dari masa lalu” (Lettinck, 1994: 562).
    Waktu menurut Aristoteles adalah kontinum, dan selalu dikaitkan dengan gerakan, dengan demikian tidak dapat memiliki awal (Lettinck, 1994: 241-259, 361). Di sisi lain, Plato menganggap waktu sebagai gerakan melingkar dari langit (Cornford, 2004: 103), sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa itu bukan gerakan waktu melainkan ukuran gerak (Lettinck, 1994: 351, 382, 390). Aristoteles jelas menghubungkan waktu rasional dan gerakan, tetapi di sini masalah timbul karena waktu adalah seragam, sementara beberapa gerakan ada yang cepat dan lambat. Jadi, kita mengukur gerak oleh waktu karena seragam—jika tidak demikian maka tidak dapat dikatakan sebagai ukuran. Untuk mengatasi masalah ini, Aristoteles mengambil gerakan bola surgawi sebagai referensi, dan semua gerakan lainnya beserta waktu diukur menurut gerakan ini (Badawi, 1965: 90). Di sisi lain, Aristoteles menganggap waktu sebagai khayalan karena itu adalah masa lalu atau masa depan dan keduanya tidak ada, sementara saat ini bukan bagian dari waktu karena tidak memiliki ekstensi (Lettinck, 1994: 348).

    Kita akan melihat bahwa Ibn Arabi sependapat dengan pendapat Aristoteles bahwa waktu tak berujung dan ia adalah ukuran gerak, tetapi Ibn Arabi tidak menganggap waktu bersifat kontinum. Di sisi lain, Ibn Arabi setuju dengan Plato bahwa waktu diciptakan dengan dunia. Bahkan Plato menganggap waktu telah diciptakan, tetapi Aristoteles menolak pendapat ini karena ia tidak bisa membayangkan titik awal untuk dunia maupun waktu. Hanya setelah teori Relativitas Umum pada tahun 1915 lahir yang memperkenalkan ide “waktu melengkung”, bisakah kita membayangkan waktu yang terbatas tetapi kelengkungan waktu sebagai tanda memiliki awal. Dengan hal ini, kita bisa menggabungkan pandangan Plato dan Aristoteles yang berlawanan. Namun, Ibn Arabi melakukan hal tersebut tujuh abad sebelumnya, dan ia juga secara eksplisit berbicara tentang kelengkungan waktu, lama sebelum Einstein mengeluarkan teorinya.

     ‡ Filsafat Yunani, konsep,  Length: [1009] words.
    Copyright © 218-2024 - Twenty Fourteen - 2014 AutoGrids 06.