Tujuan Mengampuni: Bukan untuk Merubah yang Diampuni, tetapi….

Intro

Banyak kali saya sudah salah dalam pikiran dan dalam perbuatan, yaitu saya pikir dan saya lakukan upaya-upaya mengampuni dengan tujuan untuk

  1. Meminta pengampunan dari Allah buat saya,
  2. Berharap agar orang yang saya ampuni berubah dan berbalik berbaikan dengan saya.

Tentu saja dua tujuan ini jelas-jelas salah. Alasan mengampuni bukan supaya saya diampuni, tetapi justru “karena saya sudah diampuni”. Alasan mengampuni bukan supaya orang itu berbaikan dengan saya, tetapi oleh karena saya telah berbaikan dengan dia, karena ada hasil yang saya terima tanpa dia, yang berasal dari Allah buat saya.

Alasan Mengampuni yang sesungguhnya

Ternyata alasan mengampuni yang sesungguhnya ialah karena saya sendiri telah diampuni dari segala dosa dan salah, dan telah dibebaskan dari segala upah dosa oleh karena Yesus telah lahir, menderita, mati dan bangkit dari antara orang mati, mengalahkan si “maut” dan telah naik ke surga dan telah berjanji akan datang kembali untuk menyambut kita umat-Nya yang percaya kepada-Nya.

Oleh karena saya telah dianugerahi Roh Kudus yang memampukan saya untuk harus mengampuni siapa saja, kapan saja dan di mana saja, tanpa syarat.

Dan kalau percaya kepada-Nya, maka saya percaya kepada kuasa pengampunan yang telah menghapuskan segala salah dan dosa, dan bukan dosa dan salah saya sendiri, tetapi dosa dan salah sanak-saudara, keturunan dan segenap umat manusia.

Tujuan mengampuni yang sesungguhnya

Kalau alasannya karena saya sudah diampuni, karena kami telah diampuni, maka tujuannya ialah untuk menaati perintah Tuhan, sebagai pengikut-Nya, saya harus mempratekkan apa yang diajarkan-Nya lewat perkataan dan perbuatan.

Karya terbesar yang telah Yesus lakukan di dunia ini ialah karya “pengampunan dosa”, yang dilakukan-Nya bukan karena kita layak, bukan karena kita memenuhi syarat, tetapi karena kasih-Nya yang begitu besar akan dunia ini.

Jadi, tujuan saya mengampuni ialah untuk memupuk dan memelihara hukum kasih, sebagaimana Yesus telah katakan ketika ditanyakan kepada-Nya. Mengampuni adalah bukti dari kasih, bukti ketaatan saya kepada Firman Tuhan, bukti ketaatan saya kepada perintah-perintah Tuhan, yaitu perintah yang pertama dan utama:

Matius 19:19

19:19 hormatilah ayahmu dan ibumu i  dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. j 

Matius 22:39-40

22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia 1  seperti dirimu sendiri. k 22:40 Pada kedua hukum inilah l tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Jadi, siapapun saya, apapun yang saya hadapi, kedua hukum ini tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat diberi alasan, “Ah, saya bisa tetapi karena dia….”, atau “Ah, sebenarnya saya sudah mengampuni, tetapi….” dan lain sebagainya.

Kalau kita lihat dalam perjanjian lama, maka tertulis

Imamat 19:18
19:18 Janganlah engkau menuntut balas, r  dan janganlah menaruh dendam s  terhadap orang-orang sebangsamu, t  melainkan kasihilah sesamamu manusia2  u  seperti dirimu sendiri; v  Akulah TUHAN.

Karena itu…..

  • Adalah tugas saya untuk mengampuni.
  • Adalah kewajiban saya untuk mengampuni.
  • Adalah bukti saya orang Kristen kalau saya mengampuni.
  • Adalah pertanda bahwa saya benar-benar orang Kristen.
  • Hukum Kasih ialah hukum tertinggi
  • Itulah sebabnya, Bob Marley dan anaknya Ziggy Marley mengatakan “One Love – One Heart”, dan “Love is my religion” (Satu cinta, satu hati dan cinta adalah agamaku)
  • Itulah sebabnya

saya harus mengampuni semua orang, setiap orang dan setiap saat, seumur hidup, karena saya juga telah diampuni atas dasar cinta-kasih.

Saya mengampuni bukan untuk merubah orangyang saya ampuni menjadi lebih baik kepada saya, menjadi bersahabat dengan saya, menjadi tidak memusuhi saya, dan sebagainya.

SAMA SEKALI TIDAK!!!

Alasan dan tujuan saya mengampuni ialah oleh karena saya telah diampuni, dan karena itu saya wajib mengampuni, kapan-pun, di mana-pun, siapa-pun, bagaimanapun juga! Tidak ada alasan! Tanpa syarat!

Aku Telah Menjadikan Mengampuni dan Melupakan sebagai Makanan Pokok (2)

Komentar untuk “Inner Smile”

Dengan praktek “Inner Smile” kita belajar untuk menyampaikan “senyum” kepada seluruh organ penting di dalam tubuh kita: Senyum kepada (1) jantung; (2) paru-paru; (3) liver atau hati; (4) perut dan usus; (5) buah pinggang. Sebagai puncak, kita senyum kepada alat vital atau organ seks kita.

Inner smile punya prinsip dasar dalam kalimat sederhana saya,

Tersenyumlah kepada dunia, maka dunia akan tersenyum kepadamu

Teorinya sangat sederhana. Senyum ada dalam diri saya, bersumber dari diri saya. Dia tidak dijual-beli, tetapi dapat ditukar-balik, saya tersenyum, maka dia siapapun dia akan tersenyum kembali.

Anak kecil yang kita tidak kenal dan dia tidak mengenal kita saja, bilamana kita tersenyum, kemungkinan besar ia akan tersenyum kembali.

Apalagi organ tubuh kita sendiri, bila kita tersenyum kepadanya, pasti sekali dia akan tersenyum kembali.

Kalau organ kita sudah terbiasa kita ajarkan tersenyum, maka dunia-pun yang mengelilingi kita, mendiami kita, akan tersenyum.

Praktek “Inner Smile”

Prakteknya seperti ini.
  1. Duduklah dengan posisi tenang.
  2. Tenangkan pikiran dan hati
  3. Bawa fokus perhatian ke dalam tubuh sendiri.
  4. Arahkan pikiran ke bagian-bagian tubuh sendiri: dari rambut, kepala, telinga, mata, hidung, mulut, gigi, lengan, tangan, sampai ke ujung kaki. Secara perlahan cek mereka masing-masing.
  5. Tenangkan mulut, lepaskan tekanan yang ada di antara gigi atas dan gigi bawah. Longgarkan dagu
  6. Secara perlahan, tutup mata, sampai mata tertutup rapat.
  7. Apa-pun yang terjadi di sekeliling, biarkan mereka terjadi sesuai kejadiannya masing-masing. Kita tidak berusaha mengontrol, menilai, mengomentari apalagi mengatur kejadian-kejadian di sekitar, tetapi kita mau menerima semuanya sebagaimana adanya.
  8. Mulai-lah tersenyum. (Ingat bukan tertawa, tetapi tersenyum).
  9. Mulailah tersenyum kepada jantung.
  10. Lalu tersenyum kepada paru-paru
  11. Lalu tersenyum kepada perut dan usus
  12. Kemudian tersenyum kepada buah pinggang, (dua buah, di bagian belakang bawah)
  13. Tersenyum kepada liver atau hati, di dekat buah dada sebelah kanan atas.
  14. Tersenyum kepada organ seks Anda.
  15. Perlahan-lahan tersenyumlah kepada mereka bolak-balik, naik-turun, berulang-ulang.
  16. Dengan santai dan tenang. Lakukanlah praktek ini kapan saja anda merasa mau dan tertarik.

“Inner Smile” untuk Mengampuni dan Melupakan

Hanya dengan bersenyum kepada diri sendiri, bersenyum kepada organ-organ vital dalam tubuh kita, kita telah bersenyum kepada dunia. Dan dengan demikian, dunia pasti bersenyum kepada kita. Dan semua orang pasti tahu, pasti-lah ada kedamaian dan keceriaan di mana dunia saling bersapa dengan senyum.

Dalam dunia ini kita kenal kosmik ini ada yang makro dan ada yang mikro. Tubuh kita sendiri ialah kosmik mikro dari dunia yang diwakiliknya, yaitu dunia dan semesta alam, yang disebut kosmik makro.

Ada praktek Orbit Kosmik Makro dan Orbit Kosmik Mikro yang diajarkan tetapi saya bahas hal ini dalam situs Universal Healing Tao Sstem.

Dalam interaksi senyum antara diri sendiri dengan organ tubuh sendiri, akan tercipta suasana cinta-kasih dan saling menghargai di antara organ kita sendiri. Dengan menciptakan suasana damai di dalam organ tubuh sendiri akan mendatangkan kedamaian dan ketenangan di alam sekitar, bersama orang-orang sekitar.

Dengan bersenyum kita sudah memulai suatu proses perdamaian, netraliasi dan penjinakan atas berbagai potensi yang merusak energi di dalam keseluruhan tubuh kita.

Dengan demikian, apapun yang sedang datang dan pergi, sedang masuk dan keluar, sedang merasuk dan mengusik, semuanya akan ternetralisir sendiri.

Senyum adalah obat yang mujarab untuk menetralisir dan mengamankan semuanya.

Saat Anda marah, tersinggung, merasa tidak senang, merasa apa saja yang negatif terhadap siapapun, suami-isteri, teman, sesama, tetangga, biasakanlah diri bersenyum, yaitu pertama bersenyum kepada diri sendiri, bersenyum kepada organ tubuh sendiri.

Dari situ sudah mulai tercipta ruang untuk mengampuni dan melupakan. [bersambung …]

Aku Telah Menjadikan Mengampuni dan Melupakan sebagai Makanan Pokok (1)

Catatan Pembuka

Sejak saya menjadikan “mengampuni dan melupakan” sebagai makanan pokok setiap hari, khususnya setiap akhir hari saya, maka saya telah temukan banyak hal. Yang pertama dan utama ialah “kedamaian bathin dan jiwa”.

Kedamaian yang saya maksudkan di sini ialah “berdamai dengan diri sendiri”, bukan dengan pihak lain.

Pesan untuk selalu mengampuni dan melupakan saya dapatkan dari Grandmaster Mantak Chia dalam praktek Universal Healing Tao System (UHTS) yang saya dapatkan dari beliau. Dalam praktek utama, Grandmaster Mantak Chia mengajarkan dua praktek dasar, yaitu (1) Inner Smile; dan (2) Six Healing Sounds.

Selain Mantah Chia, saya juga telah belajar jauh sebelumnya dari ajaran Alkitab yang menyatakan kita harus mengampuni dan menyelesaikan masalah dengan saudara sesama manusia sebelum matahari terbenam dan sebelum kita mempersembahkan korban sesuatu kepada Tuhan.

Di samping itu, tulisan ini dipicu oleh ucapan Perdana Menteri Papua New Guinea Peter O’Neill sebagai pesan Tahun baru 2019, yang telah berulang-kali saya kutip di mana-mana. Sejak diucapkan oleh Peter O’Neill, persoalan mengampuni dan melupakan menjadi praktek yang saya lakukan setiap saat. Dan kini saya sudah berupaya untuk menjadikannya sebagai “makanan pokok”.

Menjadikan “mengampuni dan melupakan” sebagai “makanan pokok”, artinya tanpa itu saya tidak bisa hidup, dan oleh karena itu saya hidup harus dengan mengampuni dan melupakan, setiap saat, tanpa alasan, tanpa kompromi.

Saya bertekad menjadikan cinta-kasih yang “mengampuni dan melupakan” sebagai makanan pokok saya menjadi lebih besar, lebih berkuasa, lebih banyak, lebih nikmat daripada kebencian, kecurigaan, gosip, saling mencurigai, saling menceritakan, saling tidak percaya, dan saling mendendam.

Saya tidak bisa membayangkan sama sekali, bagaimana suatu kehidupan yang tanpa mengampuni dan tanpa melupakan apa yang telah saya ampuni. Saya yakin, seyakin-yakinnya, pertama-tama saya tidak akan pernah masuk ke dalam kerajaan Sorga, karena saya tahu persis secara pribadi, bahwa saya telah menjadi anak Allah, dan saya punya jaminan pasti masuk surga, hanya dengan modal kasih-sayang yang telah mendatangkan “pengampunan dosa” buat saya.

Ini bukanlah pilihan pikiran dan akal sehat. Rasionalisai tidak punya tempat di sini. Yang saya bicarakan ialah persoalan perasaan dan hati-burani, yang telah Tuhan tempatkan dalam diri saya, dalam jiwa yang saya kandung dalam tubuh ini.

Karena dengan mengambpuni dan melupakan, saya telah mendapatkan damai sejahtera yang sesungguhnya, yang sepenuhnya dan memuaskan. [bersamung…]

Forgiveness: Don’t go to bed without it!

Releasing anger and irritation before the sun goes down is a mercy worth ritualizing

28) Create a short end-of-day ritual to ask for (and extend) forgiveness with those you live with. “Do not let the sun set on your anger” (Eph. 4:26). — 56 Ways to Be Merciful During the Jubilee Year of Mercy

Women’s magazines are always stressing the importance of not going to bed with your makeup on. It’s true – unless removed with gentle cleansing, makeup residue left to linger overnight can attract dirt, clog pores, and eventually trigger flare-ups of inflammation and ugly blemishes.

In our everyday spiritual lives, the opposite is true. Scripture warns us against going to bed without making up. “So then,” Paul writes to the Ephesians, “putting away all falsehood, let us speak the truth to our neighbors, for we are members of one another. Be angry but do not sin; do not let the sun go down on your anger, and do not make room for the devil.” (Ephesians 4:25-27).

Spiritual advice can sometimes be complicated, but this is one teaching that makes pure and perfect common sense. The effects of not reconciling with one another – our family members, friends, coworkers, even ourselves, and especially our God – on a regular basis are much like the effects of leaving makeup on overnight. Grudges held attract the dirt of more anger and irritation. Withholding forgiveness (or stubbornly refusing to ask it from those we have wronged) clogs the pores of the soul and the arteries of the heart. The smoldering embers of anger will inevitably stir into explosive flames of rage when we least expect it, and give rise to outbreaks of sin’s ugly blemishes.

Don’t believe it? Think about the last time you took your spouse’s head off for installing the toilet paper roll facing the wrong direction.

Making up – acknowledging and forgiving and setting ourselves free of the day’s burden of aggressions, micro and macro – is more than just good spiritual and psychological hygiene. It’s a mercy, a participation in God’s merciful making up with humanity in Christ Jesus, every day until the sun shall shine no more. And as such it is an act of spiritual combat, because the devil is defeated when we make peace.

Those magazine articles about removing makeup before going to bed stress the importance of making nightly skin care a habit. If you build in the time to cleanse your skin and do it regularly for a couple of weeks, it will become routine. You will be less likely to skip the step “just this once,” because you’ve made the practice of removing makeup consciously important.

In other words, you’ve created a ritual.

This week’s suggestion for how to practice mercy in the Jubilee Yearprompts us to think about doing the same thing with making up: “Create a short end-of-day ritual to ask for (and extend) forgiveness with those you live with.” That is, don’t just have a general good intention not to go to bed mad. Act, with conscious deliberation, to clear the decks of anger each day before the lights go off.

“Creating a ritual” doesn’t have to mean composing a liturgical office, wearing special forgiveness vestments, and selecting suitable hymns. (Good luck with that last one, in any case, because getting any two Catholics to agree on what constitutes a suitable hymn is more likely to trigger an all-out war than to celebrate reconciliation!) No, the important thing is doing something that is meaningful to you and yours, over and over again, until it becomes second nature. Your ritual will depend a lot on who you are and who you live with, but here are just a few ideas to get you started:

  • Before falling asleep, hold hands with your spouse, look into each other’s eyes, and say “I’m sorry. I forgive you.”
  • When praying bedtime prayers with your children, take a minute to mention and let go of the crankiness and arguments and sulks of the day. Let kids do this with one another and with you as parents.
  • When things have been particularly stressful, invite family members to write notes to place on one another’s pillows. The message can be as simple as “Let’s make tomorrow better.” Children can draw pictures.

If you live alone, adapt these ideas to your circumstances. Sometimes that will mean calling or texting others at the end of the day to ask “Are we good?” Often it will mean finding ways to let go of the old angers that keep you isolated and lonely. Always, it will mean asking God to help you make up with yourself and with him before the sun goes down.

“Do not make room for the devil” – or the nasty pimples of rage. Say goodnight, Gracie, with grace and mercy, every night.

Source: https://aleteia.org/

(Racun) Populisme, Politik Identitas, dan Jalan Panjang Demokrasi

JakartaDetikNews

Judul Buku: Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural; Penulis: Burhanuddin Muhtadi, Ph.D, Penerbit: Intrans Publishing, Malang, Maret 2019; Tebal: xxiv + 304 Halaman

Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden serta para calon legislatif perlahan menunjukkan konfidensi popularitasnya di mata publik pemilih, terkhusus menjelang detik-detik pencoblosan. Setiap dari mereka sudah sejak lama memupuk rasa keberpihakan dan kedekatan terhadap rakyatnya. Oleh sebab itu, benarlah yang dikatakan oleh Edward A. Shils (1989) bahwa pemimpin populisme sangat dekat “memihak” dan “dekat dengan rakyat”.

Ajang demokrasi lima tahunan kali ini benar-benar melelahkan. Ada begitu banyak energi yang terbuang ke permukaan dan sayangnya yang tampak hanyalah gelembung ujaran kebencian. Sementara kepastian dampak janji politiknya masih belum dapat diprediksi secara signifikan realisasinya bagi si miskin yang lapar dan yang tak bertempat tinggal. Namun, di sudut lain terus menerus narasi yang diusung oleh para kandidat cenderung khas ala programatik populis tanpa dibarengi keterukuran resonansi capaiannya.

Pada saat semua mata publik tertuju ke arah popularitas 01 dan 02, maka bersamaan dengan itu juga ada para calon legislatif (caleg) yang bertarung habis-habisan tanpa pernah tersorot mata lensa. Untuk mendulang suara elektabilitas terkadang ujaran kebencian ditebar, sebutan kaum “cebong” dan kaum “kampret”yang jauh dari substansi demokrasi pun seolah dipatut-patutkan. Betapa celakanya prosedur demokrasi yang berakhir pada perendahan harkat martabat masing-masing golongan.

Pesta demokrasi yang –katanya– mesti dihiasi kegembiraan dan antusias mendadak tergerus dengan narasi-narasi kecemasan dan ketakutan. Sebagian akademisi kerap menyebut Pemilu 2019 ini sebagai ancaman bagi dekandensi moral demokrasi kita. Sementara bagi sebagian mantan calon legislatif (caleg) 2014 menyebut pemilu kali ini sebagai “medan gelap kontestasi”, sehingga mereka memilih “kapok” untuk terlibat berkontestasi lagi di pemilu kali ini. Alasannya antara lain karena cost politics yang terlampau tinggi yang ditanggung oleh individu caleg, plus sempitnya peluang untuk menang. 

Sampai di sini, apa yang salah dari populisme calon pemimpin kita? Dan, apa yang menjadi ancaman dari politik identitas saat ini? Lalu, mengapa institusi elektoral kita tak beranjak dari kebuntuannya? Di sini kita membutuhkan tak sekadar jawaban. 

Buku ini lahir di tengah mencekamnya politik identitas dan menguatnya model kepemimpinan populis. Ia lahir dan mencatat rekam jejak serta laju demokrasi prosedural di Indonesia, khususnya sejak pasca-Reformasi berlangsung. Bagi Burhanuddin Muhtadi, tanpa ada catatan kritis yang terdokumentasi dan upaya meredemokrasi sistem pemilu agaknya mencapai demokrasi seutuhnya hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Burhanuddin membagi kajian dalam buku ini menjadi beberapa bagian. Pertama ia mengulas tentang populisme dan politik identitas. Kedua, koalisi transaksional dan kutukan sistem presidensial. Ketiga, rekonsolidasi politik Jokowi. Keempat, dinamika elektoral jelang Pemilu Serentak 2019. Keempat, membahas tentang ideologi partai, oportunisme elite dan perilaku pemilih. Pada bagian terakhir mengulas tentang partai politik dan episentrum korupsi di Indonesia.

Dari keseluruhan ragam variabel masalah yang dihadirkan, setidaknya titik interseksi penting ada pada menguatnya populisme dan politik identitas yang berdampak pada laju birokrasi elektoral.

Populisme akan selalu menarik ketika ia dipertarungkan dan agaknya para pakar politik menyepakati itu. Terlepas dari varian dan kategori populisme wong cilik, populisme otoriter dan populisme revolusioner sebagaimana yang dimaksud oleh Canovan. Populisme dalam politik hingga kini masih ada dalam ruang remang pendefinisian.

Dari segi implementasi, populisme yang ditawarkan dalam politik elektoral tidaklah mesti berbuah manis. Kadang pula ia justru menjadi benalu bagi tumbuhnya indeks demokrasi suatu Negara. Dirilis oleh Economist Intelligence Unit yang dilansir dalam Indeks Demokrasi Global pada 2010, Thailand di posisi ke-57, Papua Nugini di posisi 59, sementara Timur Leste berada di posisi 42. Sementara demokrasi Indonesia berada pada posisi ke-60. Sebabnya, kadar toleransi di Indonesia yang terus menipis sehingga mempengaruhi pada laju intensitas pelanggaran kebebasan beragama.

Di sisi lain yang mempengaruhi laju demokrasi prosedural terletak pada institusinya. Salah satu efek turunan dari keremangan sistem pemilu terletak pada efek elektoral yang tidak lagi menghadirkan para legislator yang menawarkan gagasan dan justru yang terjadi ialah menguatnya money politics.

Dalam hal menyikapi maraknya politik uang, menurut Burhanuddin ada tiga faktor yang mempengaruhi. Pertama, desain kelembagaan atau faktor institusional. Kebijakan proporsional terbuka terlampau mengarahkan politik elektoral bertumpu pada personal vote dan kepada para kandidat, sementara kebijakan desentralisasi pada arena elektoral yang dengan jumlah pemilih lebih sedikit. 

Kedua, tingkat pendidikan dan pendapatan. Pemilih berpendapatan rendah (miskin) berkecenderungan menerima pemberian uang ketimbang menimbang alasan rasional programatik yang ditawarkan para kandidat. Ketiga, politik uang sebagai produk sosial dan kultural masyarakat. Kuatnya hubungan patron-klien menjadi pupuk penyubur praktik politik uang. Patron berperan sebagai penyuplai produk atau uang untuk melesatkan kepercayaan dan loyalitas klien.

Melawan politik uang dalam ajang pemilihan umum memanglah bukan hal yang mudah. Tapi, semua praktik tersebut bisa dilakukan secara sederhana melalui perbaikan sistem dalam pemilu. Dalam instrument sistem yang baik, iblis yang diasumsikan jahat akan beranjak menjadi baik. Sementara dalam instrumen sistem yang buruk, malaikat yang diasumsikan baik sekalipun akan menjadi buruk.

Setelah sampai pada poin perbaikan sistem institusi, Burhanuddin menawarkan perlunya merubah pola pendekatan metode atau kedekatan sosio-demografis menjadi pendekatan metode rasional. Sebab, pendekatan sosio-demografis hanya menawarkan populisme yang cenderung negatif dan potensi menghilangkan unsur-unsur sosialisasi-rasional dalam proses pertimbangan memilihnya.

Dalam melihat perilaku pemilih, bagi Burhanuddin sendiri bukanlah hal sederhana. Perilaku pemilih merupakan gejala yang kompleks, karena keputusan pemilih ditentukan oleh banyak faktor. Seorang calon yang berasal dari kelompok identitas primordial tertentu belum tentu dapat menarik suara mayoritas di kelompoknya sendiri. Hal tersebut terjadi karena ada faktor identitas.Para pemilih juga mempertimbangkan faktor lain, terutama kualitas personal calon. Kondisi tersebut dalam dinamika politik lokal sering kali membuka ruang mobilisasi politik identitas. 

Buku ini tidaklah hadir tanpa kritik. Tentu masih ada banyak celah yang bisa dikritik dalam melihat akar permasalahan demokrasi prosedural. Pendekatan institusional memang akan selalu terhenti pada perbaikan sistem, sementara akar ketimpangan hak politik, hak ekonomi dan sosial budaya hanya akan terhenti pada melihat gejala demi gejala yang muncul di permukaan.

Abdurrachman Sofyan peneliti Intrans Institute Malang


(mmu/mmu)

OAP: Mau Bilang Pintar Salah-Salah, Sebaliknya juga Bingung

Kita sebagai Orang Asli Papua (OAP) selalu hidup dalam kondisi serba sulit ditebak, sulit menyatakan sikap, sulit menentukan nasib, bahkan nasib untuk hidup mati-pun kami tidak punya posisi dan sikap yang jelas. Yang bingung adalah dunia, karena mereka tidak sanggup melihat jawaban atas pertanyaan, “OAP sebenarnya maunya apa?”

  • Apakah dunia yang tidak pintar sehingga sulit baca OAP, ataukah OAP yang bikin kabur air?
  • Apakah dunia yang masih jauh dari tingkat perilaku OAP sehingga mereka tidak sanggup membaca sikap kemauan OAP?

Contoh yang paling jelas saja, ada banyak OAP berteriak minta merdeka, keluar dari NKRI, tetapi banyak juga OAP yang mencalonkan diri menjadi anggota DPRD, DPRP/DPRPB dan anggota DPRRI. Jadi, dunia sebenarnya bukannya bingung, tetapi “mencurigai”, bahwa OAP sebenarnya tipu, menipu diri sendiri.

Akhirnya keputusannya, “Ah, biarkan mereka saja, entah apa hasil dari kerja mereka, kasiht inggal mereka saja!”

Contoh kedua, sejak tanggal 1 Desember 2018, sudah terjadi pembunuhan orang pendatang, atau sering kita sebut dengan “Kaum Amberi” di Kabupaten Nduga, dilakukan oleh para pejuang atau gerilyawan Papua Merdeka yang NKRI sebut sebagai kelompok kriminal bersenjata, sama dengan Jenderal Sudirman, Diponegoro, dan sebagainya bergerilya sebagai KKB melawan Belanda tempo doloe.

Sementara terjadi begitu, nah, di sini letak kebodohan atau kepintara OAP,

  • MASIH ADA OAP bawa diri ke rumah-rumah sakit ynng mana kita semua tahu rumah-rumah sakit di Tanah Papua sudah dipenuhi oleh para pembunuh bayaran, yang telah disebar-luas sejak 15 tahun lalu. Lebih menyedihkan lagi, orang-orang bayaran itu sudah pernah keliling gereja-gereja di Tanah Papua dan bersaksi tentang perbuatan mereka. Jumlah OAP yang mereka bunuh bukan satu-dua, tetapi puluhan, ratusan, ribuan.
  • MASIH ADA OAP yang makan-makan terus di warung-warung kaum Amberi. OAP menjadi pemalas masak di rumah, bikin diri seolah-olah kaya, padahal pulang tidur di gubug tetapi makannya di warung-warung yang sudah dipasang racun.
  • MASIH OAP yang tidur di hotel-hotel di mana pemiliknya, pengelolannya, dan pelayannya adalah kaum Amberi.

Jadi, di mana letak kepintaran OAP, kalau OAP mau dibilang pintar?

Kalau mau dibilang OAP kebalikan dari pintar, malahan kita yang dimaki-makinya dengan nama-nama hewan!

Jadi mungkin ini nasib sial bangsa ini. Pantas saja tahun 2030 OAP ras Melanesia akan punah dari Tanah Papua.

Satu saja peringatan: Jangan salahkan NKRI, jangan salahkan kaum Amberi, kau sendiri terbalik dari pintar, makanya nasibmu sial.

Bukan Tuhan yang salah, bukan Belanda yang salah, bukan misionaris yang salah, bukan kapitalisme yang salah, bukan sosialisme yang salah, yang salah diri sendiri.

Bertobatlah Hari Orang Asli Papua!

  • Belajar makan makanan asli Papua
  • Belajar tanam dan makan makanan sendiri
  • Belajar masak dan makan makanan di rumah sendiri
  • Belajar tidur di rumah sendiri baru pergi rapat dan pulang makan di rumah

Belajar dan belajar! Kalau tidak Anda akan punah dari muka Bumi, dari Bumi Cenderawasih

 ‡ Amber, , OAP, Rumah Sakit Length: [610] words.

Hakikatnya Waktu Tidak Pernah menjadi Baru

Jadi sebenarnya tidak ada “Tahun Baru”. Alasan paling sederhana ialah bahwa “waktu” tidak pernah berlalu, waktu tidak pernah lewat, waktu tidak pernah pergi, waktu tidak pernah meninggalkan kita. Waktu selalu ada, dari kemarin, hari ini, sampai selama-lamanya.

Yang datang dan berlalu justru semua yang hidup, semua yang ada di jagatraya ini datang dan pergi. Kedatangan dan kepergian itu disaksikan oleh “waktu”, yang tidak pernah menjadi lama dan tidak pernah menjadi baru itu.

Sebenarnya juga bukanlah datang dan pergi tetapi berubah wujud, dari tidak nampak menjadi nampak, dari angin menjadi cairan, dari cairan menjadi padat, dari pada mencair lagi, dari cairan menguap menjadi uap lagi, dari padat terbakar menjadi uap lagi, kembali menjadi bibit lagi.

Maka sebenarnya yang berubah bukanlah waktu. Waktu justru menjadi penonton setia.

Waktu tidak pernah terpengaruh oleh apapun yang terjadi di muka Bumi, di dalam kehidupan siapapun, dan apapun. Dia ada, berjalan, berputar, dalam siklusnya sesuai aturan hukum alam universal yang berlaku.

Oleh karena itu, setiap manusia hari ini yang punya otak sehat, seharusnya bertanya secara akal sehat,

  • Mengapa ada waktu-waktu dibagi menurut detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad?
  • Mengapa ada waktu dipetak-petak menjadi hari raya dan hari baru, hari lama?
  • Mengapa hari-hari itu dirayakan?

Situs Anaknya Perempuan Yikwa